Seperti yang kita ketahui, tanggal 17 Agustus lalu, Indonesia merayakan 65 tahun kemerdekaannya. Tadinya gue udah semangat menyambut hari tersebut. Kenapa? Karena gue berharap gue bisa unjuk gigi, di lomba makan kerupuk. Terus gue inget gue puasa.
Kebolehan gue ini ternyata harus disimpen sampai tahun depan. Huh!
*
Anyway...
Di hari ulang tahunnya yang ke 65 ini, Indonesia tentunya udah bukan negara muda lagi. 65 tahun, boy. Udah dapet tunjangan hari tua tuh. Menurut gue wajar kalo berharap di usia ke-65 ini, Indonesia menjadi lebih dewasa, lebih bersatu, dan segala lebih-lebih yang lainnya.
Provocative Proactive episode lalu membahas tentang krisis kebanggaan rakyat terhadap negara Indonesia. Gimana enggak, mengutip kata Raditya Dika: Gimana kita mau bangga terhadap Indonesia kalau Indonesia-nya sendiri seperti enggak mau dibanggakan?
Yep, guys, we are thinking the same thing—or things. Udah banyak 'cacat' di Indonesia yang membuat kita susah bangga akan Indonesia. Perbandingan alasan untuk bangga dengan alasan untuk tidak bangga mungkin mencapai satu banding lima puluh.
Gue tau, rasanya kejam kalo gue langsung bilang gue enggak bangga dengan Indonesia. Seperti yang gue bilang tadi, diantara lima puluh kabar negatif tentang Indonesia, pasti ada beberapa kabar yang positif. Tapi, apa benar kita perlu mengais-ngais untuk menemukan kebanggaan?
Ada satu pertanyaan yang menyentuh buat gue, yang kemaren di ProvocActive ditanyakan sambil lalu oleh Pak Sutarto (yang bahkan enggak sempet dijawab, menyebalkan):
'Sebenernya Indonesia itu siapa sih?'
Pertanyaan itu,
ngebuat gue mikir.
Kalau kita bicara tentang Indonesia sebagai alam, udah pasti gue bangga. Dengan adanya archipelago menawan yang terbesar di dunia, pantai-pantai yang masih indah, bentangan hijau hutan yang luas, siapa sih yang enggak bangga?
Tapi begitu bicara Indonesia sebagai bangsa, wah.
Gue enggak mampu nyelesaiin kalimat barusan.
Jadi gue rasa gue enggak bisa menembak bahwa gue enggak bangga terhadap Indonesia secara keseluruhan, namun hanya pada beberapa elemennya. Banyak hal tentang Indonesia yang ngebuat gue ga bisa ngapa-ngapain kecuali tertawa satir. Banyak, tapi enggak semua.
Gue rasa manusiawi kalo kadang gue berharap gue adalah warga negara lain. Tapi ketika gue inget bahwa di sini gue lahir, di sini gue menghabiskan 16 tahun hidup gue, dan beberapa alasan lainnya, gue selalu bisa tetep cinta sama Indonesia. Cinta. Berat ga sih.
Tetapi mungkin salah satu alasan terbesar gue yang enggak tergoyahkan oleh berita-berita negatif itu adalah, karena gue percaya Indonesia bisa berubah.
Skeptis, ya. Sarkastis, mungkin. Tapi enggak apatis. Dan menyimpan harapan. Itu gue.
Friday, August 20, 2010
Wednesday, August 04, 2010
Recalling July
Sekarang udah bulan Agustus.
Dan gue baru sadar, ternyata bulan Juli kemaren gue enggak ada post sama sekali. Saya telah gagal sebagai blogger.
Yap, kawan-kawan sependeritaan, seperjuangan, dan sepersemar (itu supersemar), saya kembali menulis di 'rumah' yang telah lama saya tinggalkan ini. Dan post kali ini akan menceritakan tentang hal-hal yang terjadi selama gue enggak ngeblog.
(dan didedikasikan untuk semua yang minta gue update, karena bosen ngeliat Putri Dari Surga melulu tiap buka blog ini... mohon maaf, this is for you guys (and girls)!)
Yosh...
*
Hal pertama yang terjadi adalah... gue naik kelas!
Hurrah!
Setelah melalui setahun belajar di kelas sepuluh dan berjuang menembus Ujian Akhir Semester, akhirnya gue berhasil naik kelas dan masuk kelas XI-IA-A. Kelas A—yang, berdasarkan desas-desus merupakan kelas unggulan bersama kelas E—berisikan orang-orang yang mayoritasnya berprestasi ketika kelas sepuluh.
Pas gue tau ini, agak kaget juga. Karena ada gas elpiji meletus. Oh, bukan.
Karena itu artinya saingannya bisa gila-gilaan. Yet, as they say... what's life without a tiny bit of challenge?
*
The second thing, gue ingin mengucapkan terimakasih kepada Polygon atas terpilihnya gue sebagai salah satu penerima Beasiswa Prestasi Polygon ke-7.
Buat Mbak yang waktu itu nelepon saya untuk ngasih tau, maaf saya rada enggak konek karena baru aja selesai futsal. Dan saya saat itu sedang keringetan. Betul, gue juga enggak tau hubungannya apa.
Anyway, kalo Anda-Anda sekalian punya waktu kosong dan ingin tahu, sudi berkunjung ke website pengumumannya di link ini:
http://id.polygoncycle.com/index.php?pgid=news&mode=detail&catid=3&stoid=1059
Singkatnya, beasiswa ini diberikan kepada siswa-siswi yang *uhuk*berprestasi*uhuk* dan pergi ke sekolah dengan bersepeda. Karena gue merasa *lagilagiuhuk*memenuhi*uhukuhuklagi* kedua persyaratan tersebut, gue akhirnya nyoba untuk mengirim syarat yang diminta, dengan harapan dapat terpilih. Waktu itu gue enggak terlalu mikirin, karena mengingat calon-calonnya berasal dari seluruh Indonesia, gue pasrah aja kalo enggak dapet.
Taaaaapii... ternyata gue terpilih. Hore.
*
Yah,
sepertinya cuma itu doang yang gue tulis kali ini.
Kayaknya pas gue mulai nulis, ada banyak yang pengen gue curahkan. Tapi tiba-tiba cuma segini yang keluar. Fiuh.
Seperti yang diajarkan oleh guru Bahasa Indonesia, setiap karangan harus diakhiri dengan kesimpulan—atau bahasa kerennya, conclusion.
Dan kesimpulan yang bisa saya ambil dari tulisan saya sendiri ini, adalah:
Bulan Juli telah berlalu dengan cukup baik.
Semua usaha pasti ada hasilnya.
Redenominasi akan mempersimpel kerja akuntan.
Ga ngurangin nilai tukar, lho.
Dan gue baru sadar, ternyata bulan Juli kemaren gue enggak ada post sama sekali. Saya telah gagal sebagai blogger.
Yap, kawan-kawan sependeritaan, seperjuangan, dan sepersemar (itu supersemar), saya kembali menulis di 'rumah' yang telah lama saya tinggalkan ini. Dan post kali ini akan menceritakan tentang hal-hal yang terjadi selama gue enggak ngeblog.
(dan didedikasikan untuk semua yang minta gue update, karena bosen ngeliat Putri Dari Surga melulu tiap buka blog ini... mohon maaf, this is for you guys (and girls)!)
Yosh...
*
Hal pertama yang terjadi adalah... gue naik kelas!
Hurrah!
Setelah melalui setahun belajar di kelas sepuluh dan berjuang menembus Ujian Akhir Semester, akhirnya gue berhasil naik kelas dan masuk kelas XI-IA-A. Kelas A—yang, berdasarkan desas-desus merupakan kelas unggulan bersama kelas E—berisikan orang-orang yang mayoritasnya berprestasi ketika kelas sepuluh.
Pas gue tau ini, agak kaget juga. Karena ada gas elpiji meletus. Oh, bukan.
Karena itu artinya saingannya bisa gila-gilaan. Yet, as they say... what's life without a tiny bit of challenge?
*
The second thing, gue ingin mengucapkan terimakasih kepada Polygon atas terpilihnya gue sebagai salah satu penerima Beasiswa Prestasi Polygon ke-7.
Buat Mbak yang waktu itu nelepon saya untuk ngasih tau, maaf saya rada enggak konek karena baru aja selesai futsal. Dan saya saat itu sedang keringetan. Betul, gue juga enggak tau hubungannya apa.
Anyway, kalo Anda-Anda sekalian punya waktu kosong dan ingin tahu, sudi berkunjung ke website pengumumannya di link ini:
http://id.polygoncycle.com/index.php?pgid=news&mode=detail&catid=3&stoid=1059
Singkatnya, beasiswa ini diberikan kepada siswa-siswi yang *uhuk*berprestasi*uhuk* dan pergi ke sekolah dengan bersepeda. Karena gue merasa *lagilagiuhuk*memenuhi*uhukuhuklagi* kedua persyaratan tersebut, gue akhirnya nyoba untuk mengirim syarat yang diminta, dengan harapan dapat terpilih. Waktu itu gue enggak terlalu mikirin, karena mengingat calon-calonnya berasal dari seluruh Indonesia, gue pasrah aja kalo enggak dapet.
Taaaaapii... ternyata gue terpilih. Hore.
*
Yah,
sepertinya cuma itu doang yang gue tulis kali ini.
Kayaknya pas gue mulai nulis, ada banyak yang pengen gue curahkan. Tapi tiba-tiba cuma segini yang keluar. Fiuh.
Seperti yang diajarkan oleh guru Bahasa Indonesia, setiap karangan harus diakhiri dengan kesimpulan—atau bahasa kerennya, conclusion.
Dan kesimpulan yang bisa saya ambil dari tulisan saya sendiri ini, adalah:
Bulan Juli telah berlalu dengan cukup baik.
Semua usaha pasti ada hasilnya.
Redenominasi akan mempersimpel kerja akuntan.
Ga ngurangin nilai tukar, lho.
Tuesday, June 22, 2010
Putri Dari Surga
Seperti kebanyakan laki-laki ngenes yang enggak punya rencana dalam hari liburnya, gue sempet terbengong-bengong di rumah. Akhirnya, untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan (ngelamun jorok, bertindak anarkis dengan menghancurkan kloset yang tidak jelas tujuannya apa), gue memutuskan untuk menjalankan solo mission ke toko buku. Karena toko buku terdekat dari rumah gue ada di Plaza Semanggi, jadilah gue berangkat ke sana seorang diri. Sendirian. Di hari liburan. Kesian ya?
Dari kunjungan gue itu, gue berhasil membawa pulang (beli, bukan nyolong) beberapa buku. Tapi ada satu buku yang menyita perhatian gue. Ini bukunya:

Sekilas, dilihat dari judul, buku ini tampaknya berisi tentang cerita dongeng seorang putri cantik yang berasal dari surga dan bermain-main di kerajaannya yang damai. Tapi buku ini punya dua tagline yang ada di depan dan belakang buku, berbunyi:
Dua detik saja terlambat, semua orang akan berada dalam genggamannya. Dunia akan dikuasainya.
Dan satu lagi:
Ingat baik-baik
Tak seorang pun akan berpikir
Untuk menguasai dunia, menghancurkannya
dengan kasih sayang dan cinta
Kawan-kawan, tampaknya kita bukan berhadapan dengan putri dongeng kali ini. Dan keraguan gue itu diperjelas oleh sinopsis di sampul belakang buku itu.
"Novel ini tentang seorang gadis kecil Alynna. Orangtuanya meninggalkannya di rumah sakit saat melahirkannya. Beberapa orang sempat mengadopsi Alynna dan semua berakhir di penjara, karena mendapat tuduhan telah menyiksa Alynna. Hingga pada akhirnya pun ia mendapat simpati dari semua orang, tetapi ini justru melahirkan anarki yang maha dahsyat.
"Kenyataan sebenarnya adalah Alynna justru yang menyiksa dirinya sendiri karena dia dikuasai unsur jahat, dan hanya satu orang yang mengetahui hal ini: Nevy Morrison. Nevy Morrison menyimpulkan bahwa iblis mengutus Alynna untuk menghancurkan dunia dengan perantara orang-orang yang sangat simpati dengan penderitaannya."
Benar sekali, kawan. Kita bukan berhadapan dengan putri dongeng.
Dan malam ini, gue baru aja selesai baca buku itu (I know, I have a crazy speed at reading). Dan hanya satu kata untuk kesan gue terhadapnya.
Aneh. Aneh secara keseluruhan.
Pertama, gue enggak tahu ini novel terjemahan atau bukan. Novel ini enggak menggunakan bahasa khas novel pada umumnya, dan terdapat beberapa kata slang (nggak banyak) bahasa Indonesia yang tampak aneh untuk ditulis penerjemah. Tapi nama tokoh-tokoh seperti Alynna, Nevy Morrison, Vionna Morgan, dan Camilla Neill nggak biasa untuk novel Indonesia, meskipun itu mungkin aja.
Kedua adalah pengarangnya. Seperti tertera di gambar di atas, nama penulisnya adalah N Dean. Biografi singkatnya:
N Dean, lahir sebelum, setelah, atau mungkin juga sama dengan anda. Mulai aktif menulis sejak bisa menulis. Dan ia sama sekali bukan seorang penulis terkenal, oleh karena itu karya-karyanya pun jarang sekali dimuat dalam media lokal, nasional, apalagi internasional.
Profil itu sama sekali enggak mencantumkan tempat lahir atau apapun. Terlebih lagi, foto yang terpampang di sana hanyalah foto tampak samping close up seseorang dengan rambut panjang terurai, dengan menampilkan hanya sebagian kecil wajah, yaitu mata dan hidung, di sela-sela rambutnya. Dengan tampilan seperti kuntilanak itu, itu cowok apa cewek aja gue enggak tau.
Yang ketiga, adalah dari segi penuturan cerita. Enggak kayak novel-novel yang sering gue baca, cerita Putri Dari Surga tampak begitu blak-blakan. Semua seperti ditumpahkan begitu aja, enggak memberikan ruang untuk bernafas di sela-sela kalimatnya. Tapi entah kenapa, tulisan blak-blakan itu seakan punya magnet yang menarik untuk membuka halaman selanjutnya. Jujur, gue agak aneh dengan gaya penulisan yang enggak biasa, dan ada kesalahan (entah disengaja atau enggak) kata-kata dan tanda baca yang menurut gue enggak perlu.
Tapi dari segi cerita, bisa dibilang ini karya luar biasa. Penuh dengan twist-twist yang membingungkan, kenyataan-kenyataan yang menghentak. Dari fakta bahwa ternyata Alynna, si kecil yang selalu saja menjadi sorotan media, bukanlah anak dari Mr. dan Mrs. Burklay yang meninggal ketika rumahnya terbakar, hingga penyelidikan demi penyelidikan Nevy Morrison terhadap Alynna yang berujung pada satu hasil yang penuh misteri: angka 666.
*
Karena penasaran, gue buka google dan nyari Putri Dari Surga. Nihil, enggak ada hasilnya. Gue cari N Dean, enggak akurat juga. Gue nyari dari penerbit, Djavadipa, yang keluar malah buku kimia untuk SMA.
Gue bingung.
Gue buka website gramedia dan nyari judul buku Putri Dari Surga, 'buku yang dicari tidak ditemukan'.
Nahlo.
Gue mulai panik,
TERUS YANG GUE BELI INI BUKU APA?
Apalagi dengan fakta bahwa di akhir cerita, sang 'Iblis' masih berkeliaran, ngebuat gue merinding.
Tampaknya,
Putri Dari Surga akan terus menghantui gue!
Dari kunjungan gue itu, gue berhasil membawa pulang (beli, bukan nyolong) beberapa buku. Tapi ada satu buku yang menyita perhatian gue. Ini bukunya:

Judul: Putri Dari Surga
Penulis: N Dean
Penerbit: Djavadipa
Penulis: N Dean
Penerbit: Djavadipa
Sekilas, dilihat dari judul, buku ini tampaknya berisi tentang cerita dongeng seorang putri cantik yang berasal dari surga dan bermain-main di kerajaannya yang damai. Tapi buku ini punya dua tagline yang ada di depan dan belakang buku, berbunyi:
Dua detik saja terlambat, semua orang akan berada dalam genggamannya. Dunia akan dikuasainya.
Dan satu lagi:
Ingat baik-baik
Tak seorang pun akan berpikir
Untuk menguasai dunia, menghancurkannya
dengan kasih sayang dan cinta
Kawan-kawan, tampaknya kita bukan berhadapan dengan putri dongeng kali ini. Dan keraguan gue itu diperjelas oleh sinopsis di sampul belakang buku itu.
"Novel ini tentang seorang gadis kecil Alynna. Orangtuanya meninggalkannya di rumah sakit saat melahirkannya. Beberapa orang sempat mengadopsi Alynna dan semua berakhir di penjara, karena mendapat tuduhan telah menyiksa Alynna. Hingga pada akhirnya pun ia mendapat simpati dari semua orang, tetapi ini justru melahirkan anarki yang maha dahsyat.
"Kenyataan sebenarnya adalah Alynna justru yang menyiksa dirinya sendiri karena dia dikuasai unsur jahat, dan hanya satu orang yang mengetahui hal ini: Nevy Morrison. Nevy Morrison menyimpulkan bahwa iblis mengutus Alynna untuk menghancurkan dunia dengan perantara orang-orang yang sangat simpati dengan penderitaannya."
Benar sekali, kawan. Kita bukan berhadapan dengan putri dongeng.
Dan malam ini, gue baru aja selesai baca buku itu (I know, I have a crazy speed at reading). Dan hanya satu kata untuk kesan gue terhadapnya.
Aneh. Aneh secara keseluruhan.
Pertama, gue enggak tahu ini novel terjemahan atau bukan. Novel ini enggak menggunakan bahasa khas novel pada umumnya, dan terdapat beberapa kata slang (nggak banyak) bahasa Indonesia yang tampak aneh untuk ditulis penerjemah. Tapi nama tokoh-tokoh seperti Alynna, Nevy Morrison, Vionna Morgan, dan Camilla Neill nggak biasa untuk novel Indonesia, meskipun itu mungkin aja.
Kedua adalah pengarangnya. Seperti tertera di gambar di atas, nama penulisnya adalah N Dean. Biografi singkatnya:
N Dean, lahir sebelum, setelah, atau mungkin juga sama dengan anda. Mulai aktif menulis sejak bisa menulis. Dan ia sama sekali bukan seorang penulis terkenal, oleh karena itu karya-karyanya pun jarang sekali dimuat dalam media lokal, nasional, apalagi internasional.
Profil itu sama sekali enggak mencantumkan tempat lahir atau apapun. Terlebih lagi, foto yang terpampang di sana hanyalah foto tampak samping close up seseorang dengan rambut panjang terurai, dengan menampilkan hanya sebagian kecil wajah, yaitu mata dan hidung, di sela-sela rambutnya. Dengan tampilan seperti kuntilanak itu, itu cowok apa cewek aja gue enggak tau.
Yang ketiga, adalah dari segi penuturan cerita. Enggak kayak novel-novel yang sering gue baca, cerita Putri Dari Surga tampak begitu blak-blakan. Semua seperti ditumpahkan begitu aja, enggak memberikan ruang untuk bernafas di sela-sela kalimatnya. Tapi entah kenapa, tulisan blak-blakan itu seakan punya magnet yang menarik untuk membuka halaman selanjutnya. Jujur, gue agak aneh dengan gaya penulisan yang enggak biasa, dan ada kesalahan (entah disengaja atau enggak) kata-kata dan tanda baca yang menurut gue enggak perlu.
Tapi dari segi cerita, bisa dibilang ini karya luar biasa. Penuh dengan twist-twist yang membingungkan, kenyataan-kenyataan yang menghentak. Dari fakta bahwa ternyata Alynna, si kecil yang selalu saja menjadi sorotan media, bukanlah anak dari Mr. dan Mrs. Burklay yang meninggal ketika rumahnya terbakar, hingga penyelidikan demi penyelidikan Nevy Morrison terhadap Alynna yang berujung pada satu hasil yang penuh misteri: angka 666.
*
Karena penasaran, gue buka google dan nyari Putri Dari Surga. Nihil, enggak ada hasilnya. Gue cari N Dean, enggak akurat juga. Gue nyari dari penerbit, Djavadipa, yang keluar malah buku kimia untuk SMA.
Gue bingung.
Gue buka website gramedia dan nyari judul buku Putri Dari Surga, 'buku yang dicari tidak ditemukan'.
Nahlo.
Gue mulai panik,
TERUS YANG GUE BELI INI BUKU APA?
Apalagi dengan fakta bahwa di akhir cerita, sang 'Iblis' masih berkeliaran, ngebuat gue merinding.
Tampaknya,
Putri Dari Surga akan terus menghantui gue!
Tuesday, June 15, 2010
Roads Are War Fiels
Ujian akhir sekolah udah berakhir beberapa waktu lalu. Yang bisa dibilang cukup sukses; setidaknya jalan masuk ke jurusan IPA terbuka lebar. Dan gue akan maju selangkah dalam kehidupan gue. Kewren banjets enggak seh.
Anyway, gue udah lama enggak ngeblog lagi (yang kalau saja ada kontes banyak-banyakan ngomong kalimat barusan, mungkin gue bisa masuk tiga besar). Salahkan diri saya. Haduh, saya, gimana sih. Tampaknya ulangan beberapa hari yang lalu itu menghentikan produktivitas gue dalam menulis, baik blog dan yang lainnya. Tapi berita baiknya adalah liburan ini gue berniat menulis lagi, pick it up where I left off.
Sayangnyaaa... berita baik pasti datang dengan berita buruk. Nah, berita buruknya: udah dua hari ini gue sakit. Enggak ada tanda apa-apa, tau-tau ini penyakit nyamber. Hueh. Tiba-tiba gue ngerasa pusing, demam, meriang, pilek, batuk berdahak, dan jadi punya video Ariel-Luna. Oke, yang terakhir ga ada hubungannya.
Dan di minggu ga jelas ini (gue sebut minggu ga jelas, karena ini adalah minggu setelah UAS dimana murid-murid masih diharuskan datang ke sekolah meskipun enggak jelas maksud dan tujuannya apa. Well, you've been there done that.) gue memutuskan untuk tinggal di rumah (enggak, gue bukan sebelomnya tinggal di atas pohon atau apa). Hanya tidur-tiduran di kasur sambil sesekali bangun untuk makandan pipis.
Ga makna banget sih hidup lo, Bob. Hahhh... *desahan putus asa*
*
Di post kali ini, gue akan membahas tentang lalu lintas di Jakarta. Kenapa? Karena di saat belakangan gue sering naik sepeda ke sekolah, otomatis gue harus menghadapinya setiap pagi dan sore saat berangkat dan pulang. Dan gue yang dulunya selalu dianter bokap naik motor ini tiba-tiba jadi sadar bagaimana lalu lintas di Jakarta itu. Maklum, anak rumahan.
Lalu lintas di Jakarta semrawut dengan mobil dan motor. Pantes aja Jakarta panas, emisi karbon dioksida-nya udah sangat membeludak. *efek pasca-ujian*
Tapi ada satu hal yang ngebuat gue males terjun ke jalanan Jakarta.
Kalau di sepak bola, seberapapun kuatnya lawan, lo masih punya rekan setim yang ngebantu lo untuk mencapai kemenangan. Kalau di sekolah, seberapapun sulitnya ulangan, lo masih punya temen yang bisa dicontekin. Tapi di jalanan, semua berbeda.
Roads are war fields. Tampaknya semua orang berkonspirasi untuk memusuhi satu sama lain (itu namanya bukan konspirasi ya). Hanya ada sedikit banget toleransi sosial di jalan, semua terkalahkan oleh kepentingan individual untuk menuju tujuannya masing-masing. Dan demi tujuan itu, manusia bisa kehilangan mannernya.
Sebagai contoh, kalau tiba-tiba di jalan satu jalur ada truk yang mogok, mobil-mobil dibelakangnya akan 'menyanyikan' klakson nyaring yang bernada kesal. Mereka tidak peduli masalah apa yang menimpa truk dan supir truk, hanya peduli dengan waktu mereka yang terbuang sia-sia. Mereka melampiaskannya dengan memaki-maki dari dalam mobil. Cring, dosa nambah.
Belum lagi kalau ada yang melanggar rambu-rambu, khususnya lampu lalu lintas. Bagi sebagian orang, merah dan hijau adalah hijau. Yang melanggar tak tahu malu menancap gas, dan yang dilanggar, kendaraan yang dilalui jalurnya oleh si pelanggar, membunyikan klakson. Memaki lagi. Nambah dosa lagi.
Jujur, gue enggak akan turun ke jalanan kalau saja jalanan bukan jalan satu-satunya untuk pergi ke tempat yang dituju. Tapi sayangnya, itulah kenyataannya. Walhasil gue harus berhadapan dengan 'musuh-musuh' itu setiap hari. Apalagi gue naik sepeda, mereka naik mobil dan motor. Kalau sampai tabrakan, mereka bayar reparasi, nah gue bayar pemakaman.
Seandainya gue bisa terbang, atau setidaknya seandainya cheat jetpack dari game Grand Theft Auto berlaku di hidup gue, gue pasti udah menggunakannya. Tapi nanti bikin polusi lagi. Haduh, hidup ini susah.
Jadi saran gue,
jangan nyimpen video Ariel-Luna. Entar kena razia loh.
Anyway, gue udah lama enggak ngeblog lagi (yang kalau saja ada kontes banyak-banyakan ngomong kalimat barusan, mungkin gue bisa masuk tiga besar). Salahkan diri saya. Haduh, saya, gimana sih. Tampaknya ulangan beberapa hari yang lalu itu menghentikan produktivitas gue dalam menulis, baik blog dan yang lainnya. Tapi berita baiknya adalah liburan ini gue berniat menulis lagi, pick it up where I left off.
Sayangnyaaa... berita baik pasti datang dengan berita buruk. Nah, berita buruknya: udah dua hari ini gue sakit. Enggak ada tanda apa-apa, tau-tau ini penyakit nyamber. Hueh. Tiba-tiba gue ngerasa pusing, demam, meriang, pilek, batuk berdahak, dan jadi punya video Ariel-Luna. Oke, yang terakhir ga ada hubungannya.
Dan di minggu ga jelas ini (gue sebut minggu ga jelas, karena ini adalah minggu setelah UAS dimana murid-murid masih diharuskan datang ke sekolah meskipun enggak jelas maksud dan tujuannya apa. Well, you've been there done that.) gue memutuskan untuk tinggal di rumah (enggak, gue bukan sebelomnya tinggal di atas pohon atau apa). Hanya tidur-tiduran di kasur sambil sesekali bangun untuk makan
Ga makna banget sih hidup lo, Bob. Hahhh... *desahan putus asa*
*
Di post kali ini, gue akan membahas tentang lalu lintas di Jakarta. Kenapa? Karena di saat belakangan gue sering naik sepeda ke sekolah, otomatis gue harus menghadapinya setiap pagi dan sore saat berangkat dan pulang. Dan gue yang dulunya selalu dianter bokap naik motor ini tiba-tiba jadi sadar bagaimana lalu lintas di Jakarta itu. Maklum, anak rumahan.
Lalu lintas di Jakarta semrawut dengan mobil dan motor. Pantes aja Jakarta panas, emisi karbon dioksida-nya udah sangat membeludak. *efek pasca-ujian*
Tapi ada satu hal yang ngebuat gue males terjun ke jalanan Jakarta.
Kalau di sepak bola, seberapapun kuatnya lawan, lo masih punya rekan setim yang ngebantu lo untuk mencapai kemenangan. Kalau di sekolah, seberapapun sulitnya ulangan, lo masih punya temen yang bisa dicontekin. Tapi di jalanan, semua berbeda.
Roads are war fields. Tampaknya semua orang berkonspirasi untuk memusuhi satu sama lain (itu namanya bukan konspirasi ya). Hanya ada sedikit banget toleransi sosial di jalan, semua terkalahkan oleh kepentingan individual untuk menuju tujuannya masing-masing. Dan demi tujuan itu, manusia bisa kehilangan mannernya.
Sebagai contoh, kalau tiba-tiba di jalan satu jalur ada truk yang mogok, mobil-mobil dibelakangnya akan 'menyanyikan' klakson nyaring yang bernada kesal. Mereka tidak peduli masalah apa yang menimpa truk dan supir truk, hanya peduli dengan waktu mereka yang terbuang sia-sia. Mereka melampiaskannya dengan memaki-maki dari dalam mobil. Cring, dosa nambah.
Belum lagi kalau ada yang melanggar rambu-rambu, khususnya lampu lalu lintas. Bagi sebagian orang, merah dan hijau adalah hijau. Yang melanggar tak tahu malu menancap gas, dan yang dilanggar, kendaraan yang dilalui jalurnya oleh si pelanggar, membunyikan klakson. Memaki lagi. Nambah dosa lagi.
Jujur, gue enggak akan turun ke jalanan kalau saja jalanan bukan jalan satu-satunya untuk pergi ke tempat yang dituju. Tapi sayangnya, itulah kenyataannya. Walhasil gue harus berhadapan dengan 'musuh-musuh' itu setiap hari. Apalagi gue naik sepeda, mereka naik mobil dan motor. Kalau sampai tabrakan, mereka bayar reparasi, nah gue bayar pemakaman.
Seandainya gue bisa terbang, atau setidaknya seandainya cheat jetpack dari game Grand Theft Auto berlaku di hidup gue, gue pasti udah menggunakannya. Tapi nanti bikin polusi lagi. Haduh, hidup ini susah.
Jadi saran gue,
jangan nyimpen video Ariel-Luna. Entar kena razia loh.
Thursday, May 27, 2010
Between Science And Social
Sebagaimana kita tau, umumnya di SMA ada dua jurusan, yaitu IPS dan IPA. IPS yang menyajikan Geografi, Sosiologi, dan Ekonomi, dan IPA yang mengujungtombakkan Biologi, Kimia, dan Fisika.
Yah, that's theoritically. Kenyataannya, banyak yang memilih jurusan bukan karena alasan pelajarannya, melainkan karena faktor-faktor X yang berada di dalam dirinya.
Sebagai contoh, kebanyakan masyarakat IPS terbagi atas tiga jenis, yaitu:
1. Para 'pelarian' dari eksakta. Ya, banyak orang yang memilih IPS karena mereka enggak mau 'ketemu' dengan Fisika, Kimia, dan Matematika IPA yang identik dengan hitung-hitungan.
2. Murid-murid 'buangan'. Bukan maksud menyinggung, tapi memang kenyataannya murid yang naik kelas dengan nilai pas-pasan atau bersyarat, seringkali dimasukkan oleh sekolah ke jurusan IPS.
3. Orang-orang yang ingin belajar Geografi, Sosiologi, dan Ekonomi. Menurut lo, jumlahnya banyak atau sedikit?
Begitu juga dengan yang masuk jurusan IPA. Sebagian besar adalah orang-orang yang merasa keren bila menyandang titel IPA di punggungnya (atau dadanya? Ah, you got the point). Padahal nantinya, bila mereka ternyata tidak berminat di pelajaran-pelajaran IPA, mereka akan susah sendiri.
Let's see it this way: kalo IPS terus-terusan--seperti yang gue bilang tadi--dijadikan kelas 'buangan', kapan Indonesia akan punya ahli-ahli Geografi dan Sosiologi? Karena yang belajar di jurusan IPS nantinya hanyalah orang-orang dengan anggapan 'Yang Penting Lulus' di otak mereka, enggak peduli ilmunya apa.
Jujur, gue mau masuk IPA. Dan menurut gue, itu rasional; karena nantinya gue ingin melanjutkan ke Teknik Informatika, dan itu butuh dukungan dari ilmu-ilmu di jurusan IPA. Artinya, gue menganggap pilihan gue bertujuan konkrit yang rasional dan positif, yaitu sebagai penunjang masa depan.
Kenapa jarang sekali gue nemuin orang yang memang sengaja masuk IPS karena ia bercita-cita bekerja di BMG, atau ingin berkuliah jurusan Geodesi dan sebagainya, tetapi kebanyakan karena tidak ingin mendapatkan Fisika. Melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu dan melakukan sesuatu untuk tidak mendapatkan sesuatu, gue pikir jelas mana yang lebih efektif.
*
Waktu itu, pas upacara, kepsek gue pernah ngomong, "Seleksi masuk jurusan IPA akan diperketat, makanya jangan main-main."
Pemilihan kalimat yang diskriminatif, sebetulnya. Kenapa hanya IPA? Apa dengan begitu, orang yang ingin masuk IPS boleh main-main? Kenapa enggak seleksi naik kelas yang diperketat, tanpa melihat IPA atau IPS? Karena dengan begitu, semua siswa tidak akan 'main-main' supaya bisa naik kelas.
Jadi kalo menurut gue, sekolah harusnya mengadakan sosialisasi jurusan. Dikenalkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada bila mereka lulus dari jurusan itu nantinya. Ke mana meneruskan kuliah, bidang apa yang mungkin dimasuki, semata agar siswa termotivasi untuk mencapai cita-citanya. Supaya yang nantinya masuk jurusan IPS dan IPA adalah orang-orang yang benar-benar ingin belajar IPS dan IPA. Bukan untuk melarikan diri dari sesuatu.
Yah, that's theoritically. Kenyataannya, banyak yang memilih jurusan bukan karena alasan pelajarannya, melainkan karena faktor-faktor X yang berada di dalam dirinya.
Sebagai contoh, kebanyakan masyarakat IPS terbagi atas tiga jenis, yaitu:
1. Para 'pelarian' dari eksakta. Ya, banyak orang yang memilih IPS karena mereka enggak mau 'ketemu' dengan Fisika, Kimia, dan Matematika IPA yang identik dengan hitung-hitungan.
2. Murid-murid 'buangan'. Bukan maksud menyinggung, tapi memang kenyataannya murid yang naik kelas dengan nilai pas-pasan atau bersyarat, seringkali dimasukkan oleh sekolah ke jurusan IPS.
3. Orang-orang yang ingin belajar Geografi, Sosiologi, dan Ekonomi. Menurut lo, jumlahnya banyak atau sedikit?
Begitu juga dengan yang masuk jurusan IPA. Sebagian besar adalah orang-orang yang merasa keren bila menyandang titel IPA di punggungnya (atau dadanya? Ah, you got the point). Padahal nantinya, bila mereka ternyata tidak berminat di pelajaran-pelajaran IPA, mereka akan susah sendiri.
Let's see it this way: kalo IPS terus-terusan--seperti yang gue bilang tadi--dijadikan kelas 'buangan', kapan Indonesia akan punya ahli-ahli Geografi dan Sosiologi? Karena yang belajar di jurusan IPS nantinya hanyalah orang-orang dengan anggapan 'Yang Penting Lulus' di otak mereka, enggak peduli ilmunya apa.
Jujur, gue mau masuk IPA. Dan menurut gue, itu rasional; karena nantinya gue ingin melanjutkan ke Teknik Informatika, dan itu butuh dukungan dari ilmu-ilmu di jurusan IPA. Artinya, gue menganggap pilihan gue bertujuan konkrit yang rasional dan positif, yaitu sebagai penunjang masa depan.
Kenapa jarang sekali gue nemuin orang yang memang sengaja masuk IPS karena ia bercita-cita bekerja di BMG, atau ingin berkuliah jurusan Geodesi dan sebagainya, tetapi kebanyakan karena tidak ingin mendapatkan Fisika. Melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu dan melakukan sesuatu untuk tidak mendapatkan sesuatu, gue pikir jelas mana yang lebih efektif.
*
Waktu itu, pas upacara, kepsek gue pernah ngomong, "Seleksi masuk jurusan IPA akan diperketat, makanya jangan main-main."
Pemilihan kalimat yang diskriminatif, sebetulnya. Kenapa hanya IPA? Apa dengan begitu, orang yang ingin masuk IPS boleh main-main? Kenapa enggak seleksi naik kelas yang diperketat, tanpa melihat IPA atau IPS? Karena dengan begitu, semua siswa tidak akan 'main-main' supaya bisa naik kelas.
Jadi kalo menurut gue, sekolah harusnya mengadakan sosialisasi jurusan. Dikenalkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada bila mereka lulus dari jurusan itu nantinya. Ke mana meneruskan kuliah, bidang apa yang mungkin dimasuki, semata agar siswa termotivasi untuk mencapai cita-citanya. Supaya yang nantinya masuk jurusan IPS dan IPA adalah orang-orang yang benar-benar ingin belajar IPS dan IPA. Bukan untuk melarikan diri dari sesuatu.
Subscribe to:
Posts (Atom)