I have been in the twitter world for long; at least, long enough to know what kind of people that use it. Dan gue agak miris dengan perkembangan jejaring sosial ini, khususnya di Indonesia.
Seperti yang kita semua tahu, mayoritas pengguna jejaring sosial--atau setidaknya yang paling berperan--adalah para remaja, such as myself, yang notabene bersifat temperamen dan labil. Kayak nama yang mulai ngetren: ababil, atau ABG labil. Dan para remaja itu pun tidak sedikit yang terdaftar di twitter, setidaknya sejak tahun lalu ketika twitter mulai terkenal.
Ada satu kecenderungan yang gue selalu liat dimana pun remaja berkumpul, yaitu membuat peraturan mereka sendiri.
Dalam facebook dan friendster, hal itu enggak terlalu keliatan, mungkin dikarenakan mereka punya halaman berbeda untuk tiap orang yang ada di dalamnya. Tapi twitter? Apa yang lo tulis bisa langsung diliat ratusan orang yang ngefollow, belum lagi kalo itu diretweet sama follower lo, second degree, third degree and so on. Jutaan orang bisa tahu apa yang lo tulis dalam batas 140 karakter itu.
Ditinjau dari satu sisi, hal ini--dilihat jutaan orang--ada positifnya. Contohnya adalah saat gempa di Padang, aksi terorisme yang berbuah gerakan IndonesiaUnite, dan bencana Haiti. Orang-orang akan tahu dan peduli bahkan menyumbang untuk hal tersebut.
Tapi kalo diliat lagi, sisi negatifnya juga ada. Seperti blog post gue sebelumnya tentang Marsha, kemudian kasus Mario Teguh baru-baru ini. Dari satu tulisan membuat mereka diserang dari berbagai arah. Keterangan terbaru adalah Marsha diberi skorsing satu minggu dan denda sejumlah uang untuk kerugian sponsor sekolahnya yang mengundurkan diri. Maksud gue, is it really necessary?
Masih banyak contoh yang lain, tapi yang mau gue katakan adalah, seperti kata pepatah, mulutmu harimaumu. Kita enggak tahu betapa besarnya kekuatan massa. Hey, Presiden Soeharto aja bisa digulingkan.
*
Okay, so now I'm trying to make a list of what they've done in twitter:
1. Gelar 'Bacoters'
'Bacoters' adalah gelar bagi orang-orang yang suka 'ngebacot' atau banyak ngetweet. Dan kalo udah diakui pengikutnya bahwa ia adalah seorang 'bacoters', bangganya minta ampun. I mean, hey, 'bacot' is not even an Indonesian word. Well, 'bacoters', seperti yang mereka bilang sendiri, suka nyampah (ngetweet dalam jumlah banyak tanpa maksud). Dan mereka senang kalo udah menuhin timeline orang dengan update sejenis 'gue lagi kangen' 'laper nih' atau 'ujan-ujan gini enaknya ngapain ya?'.
2. Follower Beggar
Familiar dengan kata-kata 'I need 2 more followers, please!' dan sejenisnya? Gue iya. Oke, jadi misalkan kalo dua orang udah ngefollow lo, what would you do? Throw a party and greet your undersea friends? Oh, itu liriknya Owl City.
3. Limit
'#infolimit si @username limit, RT yang baik!'
Suppose I have RT'd it. What will I get? What favor will it do for you and the limit-person?
4. So-called Love Quotes account
Seperti yang gue sebut di blog post sebelumnya, akun yang isinya kata-kata yang cenderung terlalu cengeng untuk cinta. That is not a quote, itu curhat. Both are different. Dan sayangnya, akun-akun kayak gini mulai menjamur di twitter, menjadi semacam tren.
5. Alasan Males
I often see this:
'Gara-gara twitter jadi males belajar, males ngerjain tugas, blah blah blah.'
Oke, twitter ngebuat gue males. Males nulis. Alasannya, karena apa yang ada dipikiran gue udah tertuang di twitter sebelum gue sempet nuangin dalam tulisan. Tapi ngebuat gue males belajar? A big no, khususnya kalo lo udah tau apa yang mau lo lakuin di masa depan. Lo tau, ini kayak enggak bisa buang air besar terus nyalahin kloset.
6. Trending Topics
Paling sedikit satu kali seminggu, ada aja trending topics yang berasal dari tweet-tweet remaja-remaja di Indonesia. 'Gak', 'RT buruan', 'YANG MAU DI', 'Sama RT', 'RTLAHHH', 'Wajib' adalah beberapa diantaranya. Bahkan akun twitter What The Trend, @wtt, yang kerjanya mendefinisikan setiap trending topic yang ada, menganggap topik-topik yang berasal dari kata-kata bahasa Indonesia yang isinya enggak penting itu mengganggu dan membuang-buang waktu. Jadi orang-orang asing mungkin akan menganggap kita pribumi yang banyak bicara omong kosong dan makin merendahkan Indonesia di mata dunia.
*
Mungkin ini menimbulkan pertanyaan: kenapa gue nulis para remaja itu sebagai 'mereka', seolah-olah gue bukan seorang remaja dari Indonesia? Itu karena gue di sini bicara mayoritas. Enggak semua remaja kayak begini; beberapa cukup dewasa untuk bersikap, beberapa masa bodoh karena punya kehidupan yang lebih bermakna, dan beberapa lainnya yang bahkan enggak tau twitter. Tapi kebanyakan remaja yang tergabung dalam situs jejaring sosial adalah seperti yang gue tulis di atas.
Gue enggak bermaksud menggurui, menyudutkan, atau menghina siapapun dengan tulisan ini. Yang mau gue bilang hanyalah kita harus berpikir sebelum bertindak, karena niat baik belum tentu menuai hasil yang baik.
Wednesday, February 24, 2010
Thursday, February 18, 2010
About The Marsha-girl
Akhir-akhir ini, kasus tentang cyberworld atawa dunia maya lagi marak-maraknya. Lihat aja, kasus hilangnya remaja-remaja yang diakibatkan facebook, serta yang baru-baru ini ngetren, kasus seorang remaja yang terancam DO di sekolahnya gara-gara terlibat adu mulut di twitter. Dan entah kenapa gue jadi tertarik untuk nulis tentang ini.
Saat ketika tatkala gue denger tentang berita facebook itu, hanya satu yang terpikir: has facebook turned into an alien spaceship that could abduct people?
Tapi setelah dipikir-pikir, kenyataan bahwa facebook dihuni oleh makhluk-makhluk hijau berlendir sangat tidak mungkin untuk diterima.
Setelah ditelaah, usut punya usut ternyata menghilangnya beberapa remaja itu berawal dari perjanjian untuk bertemu yang dibuat lewat facebook. Intinya, jadi kayak semacam blind date gitu. It was kinda funny, though. Jaman sekarang masih ada aja yang kayak gitu--maksudnya, apa mereka sebegitu tidak punya perannya di dunia nyata sampai-sampai mereka percaya begitu aja sama apa yang ditulis orang?
As for the girl on twitter, whose name is Marsha, awalnya hanya mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap satu akun twitter yang kerjaannya ngupdate kata-kata cinta. Dan kata-kata itu, dalam pandangan Marsha, terlalu cengeng untuk jadi sesuatu yang pantas di retweet, atau bahkan hanya dibaca. Selain itu, Marsha juga menyinggung soal kemampuan bahasa Inggris sang pemilik akun kata-kata cinta tadi yang katanya jelek.
Dalam hal ini, I'm with Marsha. Karena, tanpa maksud menyinggung, gue sependapat bahwa akun tersebut emang bener terlalu cengeng. Dan tanpa disadari, tulisan-tulisan itu mungkin telah mengambil peran dalam merubah pandangan remaja sekarang akan cinta seakan-akan tanpa cinta (yang umumnya masih merupakan sesuatu yang klise), mereka tidak bisa hidup. Please. Life's too short to be filled with pessimistic things as such.
Tapi kemudian, pengikut akun kata-kata cinta tadi (yang saat itu kira-kira 11.000an), tidak terima dengan perkataan Marsha itu. Jadilah mereka mulai menyerang Marsha dengan kata-kata yang tak kalah pedas.
Sayangnya di tengah-tengah 'serangan' itu, Marsha berusaha melawan dan, entah disadari atau tidak, ada sedikit sifat sombong yang keluar. Ia menyebut bahwa anak-anak yang sekolah di sekolah negeri sebagai kampungan. Ia sendiri sekolah di sekolah swasta (yang gue ga mau sebut namanya, tapi kalo lo mau susah-susah dikit ngegugel juga pasti langsung tau) di kelas internasional. Dan ia juga membangga-banggakan kekayaannya dan ada satu updatenya yang mengatakan bahwa ia adalah orang yang sempurna. Well, that's something.
Dan parahnya lagi, Marsha tanpa disadari telah menjelek-jelekkan nama sekolahnya. Alhasil, hari ini (18/2) Marsha disidang di sekolahnya. Menurut kabar yang santer terdengar, katanya Marsha akan di DO. Tapi dari update yang gue baca, katanya pihak sekolah masih mempertimbangkan tindakan yang akan dilakukan terhadap Marsha.
Walaupun gue juga anak negeri, but I didn't take it personally. Gue hanya ngeliat Marsha sebagai seorang out-spoken girl yet a bit cocky and stubborn, dan itu juga tak lebih karena ia lagi ada di dalam tekanan. Bila diliat, yang kayak begitu bukan cuma Marsha kok. Banyak diantara remaja pengguna twitter yang juga suka menyombongkan kekayaan dan menggunakan kata-kata kasar untuk mengolok-olok.
Anyhow, this case was another example of how words can be so powerful. Think before you talk, or tweet, or anything else, so that you wouldn't get into trouble, get killed, or worse: expelled.
Oh, that's Hermione's line.
Saat ketika tatkala gue denger tentang berita facebook itu, hanya satu yang terpikir: has facebook turned into an alien spaceship that could abduct people?
Tapi setelah dipikir-pikir, kenyataan bahwa facebook dihuni oleh makhluk-makhluk hijau berlendir sangat tidak mungkin untuk diterima.
Setelah ditelaah, usut punya usut ternyata menghilangnya beberapa remaja itu berawal dari perjanjian untuk bertemu yang dibuat lewat facebook. Intinya, jadi kayak semacam blind date gitu. It was kinda funny, though. Jaman sekarang masih ada aja yang kayak gitu--maksudnya, apa mereka sebegitu tidak punya perannya di dunia nyata sampai-sampai mereka percaya begitu aja sama apa yang ditulis orang?
As for the girl on twitter, whose name is Marsha, awalnya hanya mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap satu akun twitter yang kerjaannya ngupdate kata-kata cinta. Dan kata-kata itu, dalam pandangan Marsha, terlalu cengeng untuk jadi sesuatu yang pantas di retweet, atau bahkan hanya dibaca. Selain itu, Marsha juga menyinggung soal kemampuan bahasa Inggris sang pemilik akun kata-kata cinta tadi yang katanya jelek.
Dalam hal ini, I'm with Marsha. Karena, tanpa maksud menyinggung, gue sependapat bahwa akun tersebut emang bener terlalu cengeng. Dan tanpa disadari, tulisan-tulisan itu mungkin telah mengambil peran dalam merubah pandangan remaja sekarang akan cinta seakan-akan tanpa cinta (yang umumnya masih merupakan sesuatu yang klise), mereka tidak bisa hidup. Please. Life's too short to be filled with pessimistic things as such.
Tapi kemudian, pengikut akun kata-kata cinta tadi (yang saat itu kira-kira 11.000an), tidak terima dengan perkataan Marsha itu. Jadilah mereka mulai menyerang Marsha dengan kata-kata yang tak kalah pedas.
Sayangnya di tengah-tengah 'serangan' itu, Marsha berusaha melawan dan, entah disadari atau tidak, ada sedikit sifat sombong yang keluar. Ia menyebut bahwa anak-anak yang sekolah di sekolah negeri sebagai kampungan. Ia sendiri sekolah di sekolah swasta (yang gue ga mau sebut namanya, tapi kalo lo mau susah-susah dikit ngegugel juga pasti langsung tau) di kelas internasional. Dan ia juga membangga-banggakan kekayaannya dan ada satu updatenya yang mengatakan bahwa ia adalah orang yang sempurna. Well, that's something.
Dan parahnya lagi, Marsha tanpa disadari telah menjelek-jelekkan nama sekolahnya. Alhasil, hari ini (18/2) Marsha disidang di sekolahnya. Menurut kabar yang santer terdengar, katanya Marsha akan di DO. Tapi dari update yang gue baca, katanya pihak sekolah masih mempertimbangkan tindakan yang akan dilakukan terhadap Marsha.
Walaupun gue juga anak negeri, but I didn't take it personally. Gue hanya ngeliat Marsha sebagai seorang out-spoken girl yet a bit cocky and stubborn, dan itu juga tak lebih karena ia lagi ada di dalam tekanan. Bila diliat, yang kayak begitu bukan cuma Marsha kok. Banyak diantara remaja pengguna twitter yang juga suka menyombongkan kekayaan dan menggunakan kata-kata kasar untuk mengolok-olok.
Anyhow, this case was another example of how words can be so powerful. Think before you talk, or tweet, or anything else, so that you wouldn't get into trouble, get killed, or worse: expelled.
Oh, that's Hermione's line.
Sunday, February 14, 2010
The Book of Mood Booster
Hai.
Berhubung di sekolah gue ada pelajaran bahasa Jerman, dan di situ nilai gue alhamdulillah bagus-bagus, dan beberapa minggu yang lalu gue baru menangin lomba Lesen auf Deutsch (membaca teks bahasa jerman), gue jadi bersemangat untuk mendalami bahasa Jerman.
Daaan... karena iseng sekaligus didasari sedikit sifat songong yang berlebih, gue nyoba ngubah bahasa di blogger dan facebook gue jadi Deutsch. Hasilnya?
Sukses. Sukses ngebuat gue pusing.
Anyhow, sekarang gue masih sibuk sekolah nih--atawa lebih tepatnya: menyibukkan diri. Ya, mungkin gue adalah salah satu dari segelintir manusia yang menganggap bahwa trigonometri, daur hidup porifera, reaksi redoks, dan teman-teman sejenisnya yang lain sebagai sesuatu yang pantas untuk mengisi pikiran.
Well, the proverb 'no pain no gain' really means a lot.
As you can see, gue udah mulai jarang ngeblog. Jangankan ngeblog; frekuensi gue update twitter aja udah semakin menurun. Apalagi facebook. Gue mulai takut jangan-jangan nanti gue bertransformasi jadi makhluk anti-dunia-maya. Atau mungkin makhluk yang enggak-terlalu-suka-dunia-maya-dan-jejaring-sosial-yang-populasi-penggunanya-udah-terlalu-membeludak. Hmm.
*
On the other hand, semangat gue untuk menulis sedang minim nih. Walaupun ide dan inspirasi udah segudang (and counting), gue kayak enggak bergairah untuk nulisnya. Microsoft Word telah gue telantarkan selama beberapa minggu ini. Maaf ya, Mic.
Yeah, dan mungkin terpengaruh juga sama mood gue yang lagi berantakan-bin-acakadul minggu-minggu ini. Don't ask why, karena gue sendiri enggak tau. There's something one cannot explain, and that something is currently swarming inside me.
*sigh*
Tapiiiiiiiii... di sela-sela hidup gue yang lagi suram ini, masih ada yang bisa bikin gue senyum. Dan the thing is... a book.
Anne of Green Gables, karya Lucy M. Montgomery. Ceritanya simpel, tentang kehidupan seorang gadis kecil yatim piatu, Anne Shirley, yang diadopsi sama sepasang suami istri yang tinggal di rumah bernama Green Gables, di Avonlea, Prince Edward Island, Kanada.
Dan menurut gue, tingkah laku Anne, kecenderungannya untuk masuk ke dalam masalah, imajinasinya yang enggak terbatas, dan mulutnya yang seakan nggak bisa berhenti bicara itu sangat menghibur. Apalagi ditambah penggambaran suasana Avonlea oleh sang penulis sehingga gue bisa membayangkan indahnya alam di sana.
Really, this old book is awesome. Dan walaupun yang versi bahasa Indonesianya ada di toko-toko buku, gue punya yang bahasa Inggris.
Dan beberapa hari yang lalu gue baru tau kalo Anne of Green Gables ada filmnya. Gue pengen beli! Yang main Megan Follows, dan itu kalo ga salah film tahun 1985. Cari di mana ya?
*
Well, that's the update for now. See you later, maybe in another million years.
Berhubung di sekolah gue ada pelajaran bahasa Jerman, dan di situ nilai gue alhamdulillah bagus-bagus, dan beberapa minggu yang lalu gue baru menangin lomba Lesen auf Deutsch (membaca teks bahasa jerman), gue jadi bersemangat untuk mendalami bahasa Jerman.
Daaan... karena iseng sekaligus didasari sedikit sifat songong yang berlebih, gue nyoba ngubah bahasa di blogger dan facebook gue jadi Deutsch. Hasilnya?
Sukses. Sukses ngebuat gue pusing.
Anyhow, sekarang gue masih sibuk sekolah nih--atawa lebih tepatnya: menyibukkan diri. Ya, mungkin gue adalah salah satu dari segelintir manusia yang menganggap bahwa trigonometri, daur hidup porifera, reaksi redoks, dan teman-teman sejenisnya yang lain sebagai sesuatu yang pantas untuk mengisi pikiran.
Well, the proverb 'no pain no gain' really means a lot.
As you can see, gue udah mulai jarang ngeblog. Jangankan ngeblog; frekuensi gue update twitter aja udah semakin menurun. Apalagi facebook. Gue mulai takut jangan-jangan nanti gue bertransformasi jadi makhluk anti-dunia-maya. Atau mungkin makhluk yang enggak-terlalu-suka-dunia-maya-dan-jejaring-sosial-yang-populasi-penggunanya-udah-terlalu-membeludak. Hmm.
*
On the other hand, semangat gue untuk menulis sedang minim nih. Walaupun ide dan inspirasi udah segudang (and counting), gue kayak enggak bergairah untuk nulisnya. Microsoft Word telah gue telantarkan selama beberapa minggu ini. Maaf ya, Mic.
Yeah, dan mungkin terpengaruh juga sama mood gue yang lagi berantakan-bin-acakadul minggu-minggu ini. Don't ask why, karena gue sendiri enggak tau. There's something one cannot explain, and that something is currently swarming inside me.
*sigh*
Tapiiiiiiiii... di sela-sela hidup gue yang lagi suram ini, masih ada yang bisa bikin gue senyum. Dan the thing is... a book.
Anne of Green Gables, karya Lucy M. Montgomery. Ceritanya simpel, tentang kehidupan seorang gadis kecil yatim piatu, Anne Shirley, yang diadopsi sama sepasang suami istri yang tinggal di rumah bernama Green Gables, di Avonlea, Prince Edward Island, Kanada.
Dan menurut gue, tingkah laku Anne, kecenderungannya untuk masuk ke dalam masalah, imajinasinya yang enggak terbatas, dan mulutnya yang seakan nggak bisa berhenti bicara itu sangat menghibur. Apalagi ditambah penggambaran suasana Avonlea oleh sang penulis sehingga gue bisa membayangkan indahnya alam di sana.
Really, this old book is awesome. Dan walaupun yang versi bahasa Indonesianya ada di toko-toko buku, gue punya yang bahasa Inggris.
Dan beberapa hari yang lalu gue baru tau kalo Anne of Green Gables ada filmnya. Gue pengen beli! Yang main Megan Follows, dan itu kalo ga salah film tahun 1985. Cari di mana ya?
*
Well, that's the update for now. See you later, maybe in another million years.
Subscribe to:
Posts (Atom)