Saturday, August 22, 2009

Sahur Pertama Bersama Kecoa

Awalnya pas gue abis online twitter. Abis janji-janjian ama anak-anak tweeps supaya online pas nanti sahur. Kira-kira jam sepuluh, gue cabut ke kamar untuk tidur. Tiba-tiba nyokap gue masuk sambil ngebawa-bawa semprotan nyamuk ke dalem kamar.

'Bob, tadi ada kecoa masuk sini. Kalo ketemu semprot ya.' kata nyokap gue.

'Sip... tenang aja, begitu sampai sini, nyawanya udah ilang!' kata gue pe-de.

Nyokap naro semprotan nyamuk itu di sebelah tempat tidur gue. Merasa senjata udah di tangan, gue tidur.

Gue tidur tanpa mimpi apa-apa. Kira-kira jam setengah dua belas, gue ngerasa geli-geli di sekitar perut gue. Enggak menduga apa-apa, gue hanya ngibasin tangan ke arah sana dan tidur lagi dengan damai.

Jam setengah satu, rasa geli-geli itu datang lagi. Kemudian gue inget--

Kecoa yang tadi!

Gue langsung bangun, ngambil semprotan nyamuk tadi dan langsung menyemprotin cairan itu ke wajah si Kecoa. Pusing keliyeng giyung, kecoa itu lari ke belakang lemari gue.

Gue ngos-ngosan. Pusing karena langsung bangun dari posisi tidur. Otot gue mengejang. Dari mulut gue keluar busa (ini kaget apa overdosis?).

Gue langsung berpikir. Apa yang menyebabkan kecoa itu jalan-jalan di perut gue? Kalo gue inget-inget, cerita ini hampir mirip dengan kejadian di danau towuti yang lalu.

Jangan-jangan. Ini adalah semacam aksi balas dendam akibat ketidak pedulian gue.

Abis itu, gue tidur lagi.

Abis itu, gue telat bangun sahur (jam empat gue baru bangun!).

Gue memutuskan,
Enggak akan berurusan dengan kecoa lagi.

Selamat Berpuasa 1930 H!

Marhaban Ya Ramadhan...

Saya, Bobby Priambodo, sebagai pemilik, pengurus, penulis, pengedit, dan pembagus (apa pula pembagus?) dari blog The Universe Of Angels: Bobby's Blog, mengucapkan selamat berpuasa bagi yang menjalankan. Semoga semua amal ibadah dapat diterima dengan benar di sisi-Nya.

Happy fasting, guys!


Gambar: archiworks.net

Monday, August 17, 2009

Dirgahayu Republik Indonesia ke-64 dan Lomba Tujuh Belasan



DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA ke-64
17 AGUSTUS 2009
MERDEKA!


Enam puluh empat tahun sudah negara dan bangsa kita ini memproklamirkan kemerdekaannya. Dan gue selalu beranggapan bahwa tugas kitalah sebagai penerus bangsa yang harus mengisi kemerdekaan itu dengan pembangunan dan berbagai hal-hal positif lainnya...

*di atas adalah isi dari pidato kampanye presiden republik bantar gebang tahun 2035 oleh bapak Widyanto Bagus Priambodo*

~~

Hari kemerdekaan biasanya identik dengan lomba. Ya. Lomba tujuh belas agustusan. Coba kita liat, lomba apa aja yang pernah gue tau:

1. Panjat Pinang
2. Makan Kerupuk
3. Balap Karung
4. Tarik Tambang
5. Makan mie tanpa bumbu (sumpah, di komplek gue ada beginian)
6. Bakiak
7. Bola daster
8. Masukin pulpen dalam botol
dst.

Diantara semua lomba itu, yang pernah gue ikutin cuma lomba makan kerupuk. Untuk sementara ini gue udah memegang juara lomba makan kerupuk tingkat Asia-Oceania.

Lomba yang paling gue benci adalah bola daster. Kenapa? Karena pernah ketika gue masih kelas 5 SD, pas bapak-bapak yang didandanin ala dakocan dan memakai daster serta rol rambut itu bermain, tiba-tiba bola kulit berat yang ditendang oleh kaki yang berotot dan berbulu itu bersarang di perut gue.

Wasitnya nyamperin gue dan berkata, 'Makanya dek, kalo nonton bola jangan di sebelah gawang.'

~~

Seperti biasa, tanggal 17 Agustus pagi pasti sekolah-sekolah mengadakan upacara penaikan bendera untuk memperingati hari kemerdekaan. Upacara pun ga berlangsung lama, gue yang udah janjian ama alumni smp gue dulu untuk berkumpul di mantan sekolah kami langsung cabut dari SMAN 3.

Sampai di sana, setelah selesai bersua bersama teman lama (bahasa gue dah, beratnya seratus tujuh puluh tiga koma enam kilo), gue ngeliatin sekitar.

Ternyata saat itu juga di smp gue dulu lagi ada perlombaan tujuh belasan. Mumpung gue lagi bawa kamera, jadi gue iseng-iseng aja ngambil-ngambil gambar. Berikut adalah hasilnya.


Camera type: Nikon D50
Lens: 180mm
Location: SMPN 40

Tarik maaaanng... (ini tarik tambang apa bencong?)


Entah apa yang ada di pikiran ketiga anak ini.


Duel!


Eit, eit! Gocek dulu!


Emang semangat kemerdekaan enggak pernah luntur dari jiwa orang-orang di Indonesia, termasuk remaja. Buktinya gue bisa dapet foto Dina kayak gini:

MERDEKA!!

~~

(17/08/09) Dirgahayu Republik Indonesia ke-64. Our independence was, is, and will be remembered for generations! We love you Indonesia!

Saturday, August 15, 2009

Gue memilih untuk tetap tumbuh pendek

Hmm.

Di bulan agustus ini, kalender udah menunjukkan tanggal lima belas. Itu artinya: pertengahan bulan. Dan coba kita lihat... posting gue bulan agustus ini baru enam. Gila, kenapa gue udah enggak rajin posting kayak dulu ya?

Dan pada akhirnya kesalahan pun ditimpakan pada banyaknya kegiatan yang gue punya di bulan ini: belajar, sekolah, baseball, twitter, chatting, nulis novel, sampai mandiin anjing tetangga. Padahal tetangga gue juga enggak punya anjing.

*sigh*

Anyway, gue baru aja ngebuatin layout blog untuk Arnin. Lo semua bisa liat hasilnya di sini. Oh iya, gue juga buka jasa ngebuat layout loh. Bayarannya bisa tunai atau transfer.

Tapi gue hanya melayani transfer dari bank darah cabang RS Omni.

*

Di sekolah, gue sekarang sibuk. Mengikuti tuntutan diknas terhadap semua sekolah negeri RSBI, sekolah gue pun melaksanakan sistem moving class.

Artinya, gue pindah kelas tiap pelajaran.
Artinya, gue harus nenteng-nenteng tas berisi buku-buku setebal lima sentimeter naik turun tangga setiap harinya.
Artinya, kemungkinan gue bertambah pendek semakin besar.

Emang sih, di sekolah gue juga ada loker. Begitu gue dapet loker, terlintas daftar barang yang akan gue masukin ke situ: buku, pakaian, nikon d50, jaket, tas, makanan anjing, robot-robotan, rol rambut, dan perahu karet. Tapi gue enggak sampe hati menaruh semua benda bejat itu ke dalam loker gue. Alhasil, setelah lima hari gue dapet loker itu, loker gue sama sekali belom diisi apapun.

Sepertinya, tanpa disadari, gue memilih untuk tetap tumbuh pendek.

*

Gue masih sering malang melintang di dunia maya. Bukan, bukan maya estianty yang punya mantan suami om jenggot kambing itu. Tapi di internet.

Di sana, gue berhasil menemukan tiga orang yang memiliki kemiripan cara berpikir dengan gue (mohon jangan tersinggung, karena kemiripan kita terletak di cara berpikir kritis, bukan gobloknya). Mereka adalah Niken, Ellena, dan Zella. Dua yang pertama udah jadi mahasiswa, sedangkan Zella masih duduk di kelas sebelas SMA 5 Tangerang.

They, wether realized or not, have been my greatest motivator.

Mereka membuat gue semangat untuk terus menulis, menulis, dan menulis. Komentar-komentar mereka yang kadang nyangsang di bawah postingan gue begitu berarti.

Mungkin banyak orang-orang di luar sana yang juga berpikiran seperti gue dan mereka, dan gue sangat berharap bisa bertemu orang-orang seperti itu. Sayangnya, dari temen-temen gue sampai saat ini belom ada yang bisa seperti itu, kecuali tiga orang yang di atas, dan mungkin beberapa lagi.

I could say that: the day I found them, was the day I found my reflection. Tentu aja, enggak literally. Secara gue cowok dan mereka perempuan.

Oh iya, gue baru sadar ternyata mayoritas temen gue di internet adalah perempuan. Yang laki-laki bisa di hitung dengan jari. Entah kenapa gue lebih nyaman ngobrol sama perempuan daripada laki-laki.

For your information, no, I'm still straight. Gue masih berdiri kalo pipis.

*

Okay then. That's all for now. See you soon!

Thursday, August 13, 2009

Bajaj dan Orang Buta

Gue prihatin banget sama orang tuna netra. Atau, bahasa kasarnya: buta.

Gimana enggak, hidup mereka terbebani dengan keterbatasan yang mereka punya. Makanya gue sering bersyukur dengan kesempurnaan organ-organ yang gue miliki.

Orang-orang buta enggak bisa baca, nulis, dan jalan sendiri. Kalau berjalan mereka harus menggunakan bantuan, seperti tongkat pemandu, anjing yang sudah dilatih, pil, suntik, ataupun spiral (ini orang buta apa pasutri KB sih).

Tapi, dibalik kesempurnaan organ penglihatan gue ini, gue juga buta. Bukan, gue bukan Daredevil yang bisa ngeliat walaupun buta. Tapi masalah gue adalah: gue buta arah.

Ya. Buta arah.

Temen-temen gue membuat keputusan yang salah apabila mereka jalan bareng gue dan menanyakan jalan ke gue. Misalnya gue dan temen-temen gue abis nonton di suatu bioskop (nama dirahasiakan, melindungi nama baik penulis) yang jaraknya mungkin hanya 7-8 kilo dari rumah gue. Kita pulang naik taksi.

Sopir taksinya nanya, 'Mau lewat mana, dek?'

Temen gue nanya ke gue, 'Enakan lewat mana, Bob?'

Gue dengan wajah tanpa dosa mengatakan, 'Wah, gue jarang lewat jalan sini sih.'

Padahal udah hampir empat tahun gue langganan nonton di bioskop tersebut bersama keluarga gue. Ya, salah satu penyakit gue adalah waktu kecil gue enggak pernah merhatiin jalanan sekitar pas lagi pergi.

Akhirnya keputusan memilih jalan tadi dijawab dengan menggunakan jawaban paling rasional yang bisa gue pikirkan:

'Yang enggak macet aja deh, pak.'

Sungguh jawaban yang menunjukkan kejeniusan. Sopir taksi tadi mengangguk dan (sepertinya) malah mengajak kami berputar-putar sehingga argo terus berjalan naik. Sampe di tujuan, kita patungan dengan jumlah yang tidak kecil. Temen gue manyun ke arah gue.

Gue cuma cengengesan.

*

Siapa sangka, penyakit buta arah ini pernah ngebuat gue nyasar.

Waktu itu gue masih kelas 3 SD. Supaya lo tau, gue dulu kalo sekolah pasti dianter-jemput sama nyokap gue. Dan ini ngebuat temen-temen seumuran gue sering ngatain gue anak mami.

Suatu hari, hal itu ngebuat gue jenuh.

Sebelum berangkat sekolah, gue ngomong ama nyokap.

'Bu, aku nanti pulang sendiri aja naik angkot,' kata gue.

'Yakin? Berani?' nyokap gue was-was.

'Berani,' kata gue mantap. Demi menghentikan cercaan dari teman sekolah yang menyebut diri mereka teman tapi ngatain, gue ngebuletin tekad. No, tekad, bukan pantat. Pantat gue udah bulet tanpa harus gue buletin lagi.

Jam pulang sekolah pun tiba. Gue berjalan dengan gagah menuju tempat pemberhentian angkot. Temen-temen gue (yang udah gue kasih tau tadi di sekolah, karena gue ingin menyombongkan diri kalo gue enggak dijemput lagi) ngikutin gue dari belakang.

Selang beberapa menit, angkot pun datang. Gue naik, dan melambai ke arah temen-temen gue dengan penuh kemenangan. Seperti Armstrong yang bangga atas pendaratannya di bulan. Untung aja gue enggak pake helm.

Angkot tersebut berisi beberapa anak SMP, seorang bapak-bapak, dan dua orang ibu-ibu. Angkutan ini bergerak menuju Tanah Abang. Supaya lo tau (lagi), rumah gue bahkan enggak sampe ke Tanah Abang. Hampir cuma dua kilo dari tempat pemberhentian angkot. Tapi tiba-tiba supir angkot membuat pengumuman yang mengejutkan.

'Takut di Sudirman macet, kita motong jalan lewat Kali Mati aja ya.'

Anjrit, motong jalan? Lewat Kali Mati? Rumah gue yang hanya tinggal ngesot doang ke arah utara sedikit udah nyampe, malah nembus Kali Mati yang bahkan gue enggak tau keluarnya dimana?

Sang supir ngomong lagi, 'Pada mau ke Tanah Abang semua kan?'

Hampir semua mengiyakan. Gue baru mau bilang kalo rumah gue deket, tapi sekali lagi, gue baru inget penyakit gue yang lain: gue malu untuk ngomong sama orang.

Bukan, bukan karena dirumah gue kebiasaan ngomong sama monyet, sama tembok, atau lebih parahnya lagi sama sendal. Cuma gue punya masalah percaya diri yang kurang dan ngebuat gue enggak berani ngomong sama orang yang enggak gue kenal. Termasuk supir angkot.

Walhasil, jadilah angkot tersebut motong jalan, dan gue cuma diem doang di dalem. Tanpa berbuat apa-apa, tanpa berkata apa-apa, tanpa memakai pakaian apa-apa. Oke, yang terakhir gue boong.

Anyway, gue saat itu sama sekali enggak kenal jalan ke arah Tanah Abang lebih dari rumah gue (yang padahal juga belom sampe Tanah Abang). Gue memperhatikan jalan, mencoba mencari suatu bangunan atau plang yang gue kenal, dan gue baru inget. Plang yang gue apal hanyalah plang tukang pijit deket rumah gue.

Jadilah gue dibawa-bawa muter-muter tanpa tujuan (buat gue) di jalan yang sama sekali gue enggak kenal. Penumpang pada turun naik, hingga akhirnya angkot berhenti di pangkalan. Merasa enggak punya pilihan lain, gue ngebayar ongkosnya dan turun.

Gue ngeliat sekeliling.

Gue ada di daerah perumahan. Perkiraan gue, itu udah sampai ujung dunia (Ehem, terlalu lebay). Ada sebuah kali gede yang mengalir di pinggir jalan. Di seberang kali juga terlihat ada rumah-rumah. Daerah ini sama sekali asing buat gue. Enggak ada nama jalan, enggak ada pak polisi, dan enggak ada Angelina Jolie. Ngapain juga Angelina Jolie ada disana?

Beruntung, enggak lama ada bajaj lewat. Gue setopin.

'Mau kemana dek?' tanya si tukang bajaj.

'Ke pejompongan, bang,' kata gue lugu.

Si abang tukang bajaj mengangguk dan menyuruh gue naik. Kita pun lalu terbang ke arah pejompongan (sekali lagi, lebay). Bajaj yang gue naikin bajaj biasa, bukan bajaj sakti milik Jun yang overload lampu itu.

Sekitar lima belas menitan, akhirnya gue sampai di rumah. Jujur, gue lega banget saat itu. Gue nanya ongkosnya sama abang tukang bajaj.

Si abang tersenyum, 'Buat adek tujuh belas ribu aja.'

Gue yang ngerasa gue udah pulang dari tempat yang begitu jauh, merasa senang karena si abang udah berbaik hati ama gue. Gue bayar ongkosnya (pake duit tabungan, mana mungkin anak SD kelas 3 punya duit sebanyak itu), dan gue pun langsung tidur lelap di kamar setelah petualangan yang mendebarkan jiwa dan raga itu.

Besoknya? Gue minta dijemput.

*

Karena malu kalo ketauan nyasar, akhirnya gue memutuskan untuk menceritakan kejadian itu empat tahun kemudian, pas gue SMP kelas 1.

Nyokap gue, yang denger cerita itu, ngakak.
Kakak gue, yang diceritain ama nyokap gue, ngakak.
Bokap gue, yang diceritain ama kakak gue, ngakak.
Adek gue, yang diceritain ama bokap gue, ngeden. Ternyata dia dikasih tau pas lagi pup.

Setelah gue deskripsikan tempat gue turun dari angkot, dan ngasih tau kalo gue pulang naik bajaj, dan gue ngebayar ongkos tujuh belas ribu, nyokap ngetawain gue.

'Yah, naik bajaj dari (gue lupa nama tempatnya) ngapain bayar mahal-mahal. Paling mahal juga cuma SEPULUH RIBU!'

Shit.

Gue ditipu sama tukang bajaj penebar senyum itu. Sejak itu gue menderita BTS (Bajaj Traumatic Syndrome). Yaitu penyakit dimana gue selalu sakit perut kalo ngeliat bajaj lewat di depan gue. (Belakangan diketahui kalo ternyata gue cuma sakit maag.)

Gue memutuskan, sejak saat itu, gue lebih memilih naik ojek daripada naik bajaj.

Saturday, August 08, 2009

Tetaplah menulis, folks!

Huff.

Perjuangan selama dua jam ternyata membuahkan hasil.

Layout blog gue telah selesai dibuat! And I love it for sure.

*

Perasaan gue saat ini campur aduk. Seneng karena libur, sebel karena pulsa abis (lagi), dan sedih karena temen-temen gue udah banyak yang berenti ngeblog. Emang iya sih, banyak kegiatan dan hal-hal di internet yang mungkin lebih menarik bagi mereka dari pada blog. Mungkin pikiran mereka 'Ngapain sih gue blogging? Cuma nulis-nulis doang, apa serunya?'.

Gue enggak bilang kalo mereka salah. Tapi gue pribadi nganggep blogging sebagai sesuatu yang menyenangkan. Mungkin pembaca bisa ngeliat kalo mayoritas cerita-cerita gue di blog ini memiliki suasana dan latar yang ceria. Kenapa?

Untuk menghibur diri gue sendiri.

Maksudnya, enggak selamanya kan di hidup ini orang ceria terus-terusan, atau selalu ada kejadian menyenangkan setiap hari. Pasti ada kalanya seseorang down karena mengalami masalah.

Untuk 'membersihkan' pikiran gue dari masalah-masalah itu, kadang gue mengingat-ingat cerita menyenangkan, konyol, dan lucu di hidup gue sehingga bisa gue ketawain, bisa gue komentarin, yang akhirnya ngebuat gue lebih ceria. Dan karena itu gue menumpahkan cerita-cerita itu di blog, supaya gue bisa mengingatnya lagi dengan mudah.

Mungkin penyebab kebosanan temen-temen gue adalah keterbatasan mereka dalam tulis-menulis. Gue enggak bilang tulisan mereka jelek, hanya pengetahuan mereka untuk membuat sebuah tulisan menjadi menarik untuk dibaca berulang-ulang sangat sedikit. Akibatnya, mereka sendiri bosan dengan tulisan mereka, yang seringkali hanya berformat bagai sebuah diari tempat curhat.

Seseorang akan menikmati menulis bila ia tau cara menulis yang nikmat. Penulis adalah pembaca. Tulisan seseorang sering mengadaptasi atau terpengaruh tulisan orang lain. Semakin banyak tulisan yang ia baca, maka semakin banyak juga pengetahuan tentang tulisan. Sehingga kemungkinan besar ia menemukan gaya penulisan yang cocok dengannya.

Contohnya gue. Banyak temen-temen gue yang baca blog gue bilang 'Bob, tulisan lo Raditya Dika banget sih,' atau 'Wah, lo bakal jadi Raditya Dika kedua nih,'. Ya, emang gaya penulisan gue terpengaruh dari tulisannya. Gue sering baca bukunya Raditya Dika (yang ngebuat gue hampir mati tujuh kali karena berhenti nafas selama tujuh detik setelah tertawa tujuh kali), karena itu tulisan gue jadi begini. Dan gue cocok dengan menulis kayak gini, so I live on with it.

Jadi saran gue untuk para blogger newbie dimanapun lo berada, coba cari cara menulis yang cocok buat lo. Usahain jangan bersifat 'egois', maksudnya kebanyakan mengungkapkan perasaan lo daripada cerita itu sendiri. Dan tulis cerita yang unordinary atau tidak biasa. Jangan seperti ini:

"Hari ini nyebelin, nyokap nyuruh beli ketoprak padahal kan gue masih mau tidur, terus adek gue bla bla bla..."

Gue aja enggak tertarik baca kelanjutannya, padahal barusan itu tulisan gue sendiri. Kalo gue sendiri aja enggak tertarik, gimana pembaca yang lain? Kutipan cerita diatas itulah contoh tulisan 'egois'. Pembaca dibuat untuk mempunyai persepsi bahwa si A nyebelin, si B nyebelin, tanpa bisa meneliti kejadian sebenarnya. Dan cerita itu juga terlalu... biasa. Nyokap nyuruh beli ketoprak mungkin bisa terjadi ribuan kali dalam setahun. Kalaupun mau nulis hal-hal biasa, coba ubah sudut pandang penulisannya. Contohnya:

Hari minggu yang cerah. Gue yang keturunan kebo ini seharusnya bisa melanjutkan tidur nyenyak gue pagi ini dengan damai. Tapi tiba-tiba pintu kamar gue diketuk.

"Andi, keluar dong!"

Gue yang masih ngantuk hanya menggumam tidak jelas. "Mmmmmm..."

"Andi, keluar! Ini penting banget! Menyangkut hidup dan mati!"
(Lebay, namanya aja contoh)

Mendengar suara nyokap gue yang begitu serius, gue menggelinding dengan pelan ke depan pintu. Gue buka kuncinya, dan wajah panik nyokap gue terpampang di depan gue. Nyokap tampak kaget. Maklum, mungkin muka gue saat itu tampak seperti gorila baru bangun tidur.

"Kenapa, mah?"

Nyokap gue seperti tersadar dari hipnotis wajah gue dan kembali bertampang serius. Gue menyiapkan mental untuk mendengar yang terburuk, dan kata-kata itu keluar.

"Tolong beliin ketoprak dong."

Gubrak.

Adek gue cuma ketawa bagaikan iblis kecil dari kamarnya di seberang sana.


Nah, kan lebih hidup ceritanya. Daripada mengungkapkan perasaan yang berlebihan (curcol) walaupun ini di blog lo sendiri, mendingan tulis cerita yang membuat orang tertarik untuk membacanya.

Tetap menulis, tetap tertawa, dan tetap... hidup.

Wednesday, August 05, 2009

Aku-kamu, gue-elo.

"Lo beli aja sono sendiri!"

"Enggak mau! Gue mau punya lo! Mau gue tampol ya lo?"

"Tampol sini! Gue enggak takut! Lo mah cupu, bego!"


Pertengkaran itu berlangsung seru di depan gue. Kata-kata yang kasar, omongan yang enggak enak didenger itu seakan udah menjadi kejadian biasa dewasa ini. Bahkan mungkin enggak akan ada yang percaya kalo itu dilakukan oleh dua orang anak kelas dua SD.

Ya. Kelas DUA. SD.

Udah enggak ada lagi ya pelajaran etika di sekolah-sekolah dasar? Dulu gue sering berantem sama temen gue. Seperti cuplikan yang gue inget:

"Aaah, kamu jangan gitu dong! Itu kan enggak boleh..."

"Tapi kata mama aku ga papa kok."

"Iya, tapi mendingan enggak usah, nanti kita dimarahin."

Apa yang lagi gue sama temen gue omongin saat itu, you don't wanna know. The point is, kedengerannya kan enak? So... childish. Dan karena kita emang masih anak-anak saat itu, itu adalah merupakan suatu kewajaran yang emang harusnya begitu.

Bukan seperti sekarang saat budaya betawi kasar udah masuk ke masyarakat dengan menggunakan kata ganti gue dan lo. Maksud gue, you're just seven! You shouldn't say those words, not yet!

*

Dalam pelajaran bahasa Indonesia, kata ganti yang benar untuk menunjukkan orang adalah aku-kamu atau saya-anda. Tapi yang sekarang terjadi adalah dalam pergaulan (yang didefinisikan sebagai temen sekolah, temen main, dan temen seumuran), seringkali kita denger bahwa yang digunakan adalah kata ganti gue-elo.

Waktu di kelas sembilan, gue sama temen-temen gue pernah ngomongin masalah ini. Akhirnya gue sama Fikri sepakat untuk nyoba ngomong pake aku-kamu.

Orang-orang pada ngira gue gay.

Eksperimen gue sama Fikri akhirnya gagal. Sebabnya mungkin adalah kata gue-elo udah membudaya di masyarakat sehingga kalo menggunakan kata lain terdengar aneh, kecuali untuk ditujukan kepada orang-orang tertentu (keluarga, pacar, bos, guru, etc.).

Kalo menurut gue, gue lebih seneng pake English. Karena dia cuma pake I dan you. Nothing else. Tapi gue juga seneng pake Japanese walaupun watashi-anata masih sering diganti boku/ore-kimi oleh anak-anak muda di sana.

Menurut gue lagi, penggunaan kata gue-elo menurunkan level kesopanan yang akan tercurah saat kita berinteraksi. Sehingga kadang ngebuat kita salah paham.

Perkembangan zaman... atau malah kemunduran?

Saturday, August 01, 2009

Kisah kasih di baseball... Bagus?

*Tap tap tap tap tap*

Gue berlari ke belakang di atas rumput dengan pandangan tetep ke atas. Enggak mau kalah cepet, gue tambah kecepatan gue. Lalu saatnya tiba; gue ngangkat tangan kiri gue tinggi-tinggi, lalu gue lompat.

*pluk!*

Yes! Successfully ketangkep!

Saking senengnya, gue lempar balik bola itu dengan kecepatan yang mengerikan. Akibatnya bola bersarang di paha kanan anak yang bertugas nangkep. Bergeser dikit aja, maka gue akan berhasil menghancurkan masa depan anak itu.

Coach nyuruh gue push up.

*

Waktu itu gue pernah ngasih tau kalo gue latihan di lapangan yang deket pintu I Senayan (gue enggak tau nama lapangannya). Dan jujur gue sangat nyaman kalo ada di lapangan baseball. Kesannya luas banget, dan penuh rumput. Enggak, gue belom berubah jadi kambing.

Kita latihan mulai jam 16:00 sampai 18:30. Kebayang kan ademnya kayak apa. Gue seneng banget kalo udah hari latihan. Haha.

*

Di antara anak kelas X yang latihan ada Akbar, atau Pertamax, yang disebut demikian karena seringnya dia nyebut "Pertamax, gan!". Mungkin dia begitu karena terlalu terobsesi dengan ngasih komentar di tulisan orang. Bener-bener anak kaskus sejati.

Setiap gue nangkep, dia selalu bilang "Wah, kangkung jago kangkung."

Untung gue masih sabar. Kalo enggak gue ajak dia masuk ke panci mendidih bareng gue. Dan akan terciptalah sayur kangkung daging gorila.

*

Dari kelas gue ada enam orang yang ikut, yaitu Karim, Innu, Fachry, Tantra, Andri, dan gue sendiri. Termasuk kelas yang paling banyak anggotanya. Hidup kelas X-C!

Itu yang cowok. Kalo yang cewek gue ga tau, enggak ngitung. Tapi FYI, para anggota softball (baik kakak kelas maupun kelas X) itu cakep-cakep ya!

...

Bob, lo udah punya cewek. Sadar dong!

Anyway, ada dua orang kakak kelas anggota softball yang jadi pembicaraan hangat di antara para perjaka-perjaka baseball.

Gue enggak mau sebut nama, ah. Takut. Hehe.

Yah, pokoknya kedua cewek itu sepertinya telah sukses memesona hati-hati dari para bujang tak beradab itu. Banyak bisik-bisik yang mayoritas mengatakan pengen kenalan. Karim sendiri malah pengen nembak langsung. Rim, hidup lo masih panjang. Lo kan enggak mau ditemuin mati dengan lobang sebesar bola softball di perut lo.

*

Other note, besok gue mau beli glove! Horray!

Baseball Tiga Teladan

Seminggu merupakan waktu yang lama untuk enggak ngeblog. Ya, waktu yang lama... (bangun Bob, bangun!)

Hem, mungkin beberapa orang yang ngefollow twitter gue udah tau kalo sekarang gue sedang meniti langkah dalam ekstrakuriluler baru, yaitu: baseball.

Ya, di posting ini gue akan bercerita tentang pengalaman gue sebagai apprentice dalam baseball. Ada yang enggak tau baseball apaan? Cari deh di om Google, males gue ngasih linknya. Haha.

Di SMA 3 ada ekskur baseball dan softball. Nama klubnya adalah klub Teladan. Teladan udah terdaftar di Jakarta, jadi kita bisa ikut pertandingan apa aja. Ekskur ini enggak sebatas untuk siswa-siswi SMA 3, tapi juga alumni. Untuk baseball sendiri, siswa SMA 3 yang ikut 2 orang dari kelas XII, 6-7 orang dari kelas XI, dan sekitar 20 orang dari kelas X. Jadwal latihannya adalah hari Kamis dan Minggu jam empat sore di lapangan yang deket pintu I Senayan.

Kamis kemaren adalah hari ketiga gue latihan. Dari tiga hari itu kita hanya baru latihan pitching alias ngelempar bola dan catching. No, bukan matching, tapi catching. Kita latihan baseball, ya, bukan fesyen.

Gue menilai cara gue ngepitch dan ngecatch lumayan bagus. Yah, setidaknya enggak malu-maluin lah. Hueheheh.

Dan dalam waktu dekat ini gue baru akan beli glove beserta bolanya. Itung-itung buat latihan di rumah, lah. Kan mau jadi Babe Ruth Jr. :D

Temen-temen gue banyak yang ikut juga. Tapi paling nyolotin si Akbar dari kelas X-A. Dengan songongnya nyebut gue 'kangkung'. Pas dia jatoh teguling dan mukanya kena bola gue ketawain keras-keras.

Kejamnya gue.

Tapi seneng sih gue ikut ekskur ini. Soalnya: enggak ada senioritas. Anak kelas XI dan XIInya juga enggak minta yang neko-neko, asalkan kita tetep sopan. Dan ini adalah salah satu ekskur yang fun, karena pelatihnya justru nyuruh kita untuk bercanda walaupun harus tetep konsentrasi.

Well, karena ini termasuk olahraga yang baru buat gue (enggak juga sih, waktu SD gue udah pernah nyoba main. Hasilnya? Bolanya ilang.) jadi gue harus belajar mulai dari dasarnya.

Kenapa gue milih baseball, bukan basket yang menjadi primadona SMA 3 atau lainnya? Karena: basket, futsal, dan lain-lain terkesan overrated aja buat gue. Dari SMP perasaan itu mulu. Need to try sumthin' different.