Sebagaimana kita tau, umumnya di SMA ada dua jurusan, yaitu IPS dan IPA. IPS yang menyajikan Geografi, Sosiologi, dan Ekonomi, dan IPA yang mengujungtombakkan Biologi, Kimia, dan Fisika.
Yah, that's theoritically. Kenyataannya, banyak yang memilih jurusan bukan karena alasan pelajarannya, melainkan karena faktor-faktor X yang berada di dalam dirinya.
Sebagai contoh, kebanyakan masyarakat IPS terbagi atas tiga jenis, yaitu:
1. Para 'pelarian' dari eksakta. Ya, banyak orang yang memilih IPS karena mereka enggak mau 'ketemu' dengan Fisika, Kimia, dan Matematika IPA yang identik dengan hitung-hitungan.
2. Murid-murid 'buangan'. Bukan maksud menyinggung, tapi memang kenyataannya murid yang naik kelas dengan nilai pas-pasan atau bersyarat, seringkali dimasukkan oleh sekolah ke jurusan IPS.
3. Orang-orang yang ingin belajar Geografi, Sosiologi, dan Ekonomi. Menurut lo, jumlahnya banyak atau sedikit?
Begitu juga dengan yang masuk jurusan IPA. Sebagian besar adalah orang-orang yang merasa keren bila menyandang titel IPA di punggungnya (atau dadanya? Ah, you got the point). Padahal nantinya, bila mereka ternyata tidak berminat di pelajaran-pelajaran IPA, mereka akan susah sendiri.
Let's see it this way: kalo IPS terus-terusan--seperti yang gue bilang tadi--dijadikan kelas 'buangan', kapan Indonesia akan punya ahli-ahli Geografi dan Sosiologi? Karena yang belajar di jurusan IPS nantinya hanyalah orang-orang dengan anggapan 'Yang Penting Lulus' di otak mereka, enggak peduli ilmunya apa.
Jujur, gue mau masuk IPA. Dan menurut gue, itu rasional; karena nantinya gue ingin melanjutkan ke Teknik Informatika, dan itu butuh dukungan dari ilmu-ilmu di jurusan IPA. Artinya, gue menganggap pilihan gue bertujuan konkrit yang rasional dan positif, yaitu sebagai penunjang masa depan.
Kenapa jarang sekali gue nemuin orang yang memang sengaja masuk IPS karena ia bercita-cita bekerja di BMG, atau ingin berkuliah jurusan Geodesi dan sebagainya, tetapi kebanyakan karena tidak ingin mendapatkan Fisika. Melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu dan melakukan sesuatu untuk tidak mendapatkan sesuatu, gue pikir jelas mana yang lebih efektif.
*
Waktu itu, pas upacara, kepsek gue pernah ngomong, "Seleksi masuk jurusan IPA akan diperketat, makanya jangan main-main."
Pemilihan kalimat yang diskriminatif, sebetulnya. Kenapa hanya IPA? Apa dengan begitu, orang yang ingin masuk IPS boleh main-main? Kenapa enggak seleksi naik kelas yang diperketat, tanpa melihat IPA atau IPS? Karena dengan begitu, semua siswa tidak akan 'main-main' supaya bisa naik kelas.
Jadi kalo menurut gue, sekolah harusnya mengadakan sosialisasi jurusan. Dikenalkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada bila mereka lulus dari jurusan itu nantinya. Ke mana meneruskan kuliah, bidang apa yang mungkin dimasuki, semata agar siswa termotivasi untuk mencapai cita-citanya. Supaya yang nantinya masuk jurusan IPS dan IPA adalah orang-orang yang benar-benar ingin belajar IPS dan IPA. Bukan untuk melarikan diri dari sesuatu.
Thursday, May 27, 2010
Thursday, May 20, 2010
An Unexpected Advice
Gue lagi ada di angkot dalam perjalanan pulang ketika seorang laki-laki tua masuk ke dalam angkot itu.
Seandainya laki-laki itu biasa saja, pasti gue juga udah enggak terlalu memperhatikan. Tapi penampilannya yang membawa gitar, usia sekitar empat-puluhan, memakai kacamata, rambut acak-acakan, kemeja lusuh dan celana jeans membuatnya tampak unik, kayak seniman jalanan. Ketika naik, ia berkata, "Oke, mas! numpang ya."
Kemudian angkot jalan lagi.
Gue udah mulai lupa tentang si pria bergitar itu saat tiba-tiba pundak gue dipegang. Ketika gue nengok, ternyata yang megang adalah si laki-laki itu!
Gue mulai was-was. Dia megang pundak gue dan ngeliatin gue selama beberapa detik. Pikiran gue mulai negatif.
Mungkin dia penghipnotis.
Mungkin gue mau disodomi dan dimutilasi.
Mungkin gitarnya sebenarnya adalah bazooka dan akan digunakan untuk nodong gue.
Mungkin gue akan diajak nonton konser Kangen Band. Itu yang paling buruk.
Laki-laki itu membuka mulut. Gue takut akan ada ular keluar dari sana, ternyata enggak.
"Kelas berapa?" dia bertanya.
"Satu, pak," diriku menjawab.
"SMA?"
"Iya."
Kata orang, mata adalah cerminan paling jelas sifat seseorang. Dan saat itu gue ngeliat matanya, yang entah gimana ternyata terlihat begitu bersahabat. Kayaknya ga mungkin dia orang jahat, pikir gue.
"Tuntut ilmu yang bener, ya. Jangan ikut tawur-tawuran. Tawuran begitu, hanya bikin repot. Kalau luka atau meninggal, orang tua juga yang kena batunya. Belajar yang rajin, supaya jadi orang sukses nantinya."
Gue yang baru sadar kalo lagi dinasehatin, hanya bisa ngejawab, "Iya."
Enggak lama setelah kuliah singkat itu, sang seniman turun dan berkata, "Terima kasih tumpangannya, mas," dan melayangkan senyum kepada sang supir. Ketika dia berjalan pergi dan angkot melaju lagi, ada dua hal yang terpikir di kepala gue.
Yang pertama,
gue ingin jadi seniman. Biar bisa naik angkot gratis seperti tadi.
Yang kedua,
ternyata masih ada orang yang peduli terhadap pendidikan negeri ini. Walaupun ia hanya seorang seniman jalanan atau apa, ia juga prihatin terhadap kondisi pelajar Indonesia dan maraknya tawuran pelajar dewasa ini.
Pak Gitar (yang saya tak tahu namanya), saya berjanji akan terus belajar dengan baik, supaya bisa meneruskan perjuangan negeri ini. Dan saya juga berjanji, sampai kapan pun, untuk tidak akan pernah ikut tawuran. Apalagi arisan.
Oh, itu beda ya.
Seandainya laki-laki itu biasa saja, pasti gue juga udah enggak terlalu memperhatikan. Tapi penampilannya yang membawa gitar, usia sekitar empat-puluhan, memakai kacamata, rambut acak-acakan, kemeja lusuh dan celana jeans membuatnya tampak unik, kayak seniman jalanan. Ketika naik, ia berkata, "Oke, mas! numpang ya."
Kemudian angkot jalan lagi.
Gue udah mulai lupa tentang si pria bergitar itu saat tiba-tiba pundak gue dipegang. Ketika gue nengok, ternyata yang megang adalah si laki-laki itu!
Gue mulai was-was. Dia megang pundak gue dan ngeliatin gue selama beberapa detik. Pikiran gue mulai negatif.
Mungkin dia penghipnotis.
Mungkin gue mau disodomi dan dimutilasi.
Mungkin gitarnya sebenarnya adalah bazooka dan akan digunakan untuk nodong gue.
Mungkin gue akan diajak nonton konser Kangen Band. Itu yang paling buruk.
Laki-laki itu membuka mulut. Gue takut akan ada ular keluar dari sana, ternyata enggak.
"Kelas berapa?" dia bertanya.
"Satu, pak," diriku menjawab.
"SMA?"
"Iya."
Kata orang, mata adalah cerminan paling jelas sifat seseorang. Dan saat itu gue ngeliat matanya, yang entah gimana ternyata terlihat begitu bersahabat. Kayaknya ga mungkin dia orang jahat, pikir gue.
"Tuntut ilmu yang bener, ya. Jangan ikut tawur-tawuran. Tawuran begitu, hanya bikin repot. Kalau luka atau meninggal, orang tua juga yang kena batunya. Belajar yang rajin, supaya jadi orang sukses nantinya."
Gue yang baru sadar kalo lagi dinasehatin, hanya bisa ngejawab, "Iya."
Enggak lama setelah kuliah singkat itu, sang seniman turun dan berkata, "Terima kasih tumpangannya, mas," dan melayangkan senyum kepada sang supir. Ketika dia berjalan pergi dan angkot melaju lagi, ada dua hal yang terpikir di kepala gue.
Yang pertama,
gue ingin jadi seniman. Biar bisa naik angkot gratis seperti tadi.
Yang kedua,
ternyata masih ada orang yang peduli terhadap pendidikan negeri ini. Walaupun ia hanya seorang seniman jalanan atau apa, ia juga prihatin terhadap kondisi pelajar Indonesia dan maraknya tawuran pelajar dewasa ini.
Pak Gitar (yang saya tak tahu namanya), saya berjanji akan terus belajar dengan baik, supaya bisa meneruskan perjuangan negeri ini. Dan saya juga berjanji, sampai kapan pun, untuk tidak akan pernah ikut tawuran. Apalagi arisan.
Oh, itu beda ya.
Thursday, May 13, 2010
We've Got A Planet To Save!
Halo.
Sebenernya mood gue hari ini agak setengah-setengah (hampir setengah-setengah, tapi setengah setengah-setengah, err...), dan dua faktor penyebabnya adalah cuaca yang aneh belakangan ini serta tangan gue yang keseleo saat main futsal pagi tadi. Akhirnya hati gue gundah gulana. Resah gelisah. Enggak enak deh pokoknya. Untungnya yang keseleo tangan kiri, jadi gue masih bisa nulis. Meskipun gue bingung gimana cara gue cebok nantinya.
Ehem.
Tapiiiii... atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan permintaan rekan saya Dana untuk meng-update blog saya ini, jadilah post ini saya tulis dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Yosh.
Terima kasih untuk Dana karena telah menjadi pembaca setia blog ini. Lo enggak gue sogok kan? Enggak kan? Bilang aja enggak, nanti gue tambahin sepuluh ribu deh.
*
Speaking of cuaca, emang cuaca di Jakarta sekarang-sekarang ini nggak jelas ya? Seharusnya mulai April kemaren udah masuk musim kemarau, tapi nyatanya, kayak hari ini, ujan deres. Padahal paginya panas sepanas-panasnya panas, kalo kata Jason Mraz: "You're so hot that I'm melting."
Usut punya usut, ternyata ini adalah salah satu efek global warming atawa pemanasan global. Emang saking seringnya diomongin, jadi terkesan overrated dan klise. Tapi, itulah yang terjadi.
Minggu kemaren, di pelajaran Kimia, gue beserta kelompok yang ditugaskan membuat sebuah poster membuat satu tentang pemanasan global. Dan jreng-jreng, inilah poster kami:
Di kelas itu, gue dan kawan-kawan ditugaskan mempresentasikan poster itu. Akhirnya jadilah sebuah ajang diskusi juga dengan Pak Iman, guru Kimia gue, tentang pemanasan global.
Kenapa jalanan di Jakarta panas banget? Jawabannya ada tiga.
Yang pertama, adalah karena banyaknya kendaraan bermotor.
Sebenernya kalo gue bilang, kendaraan bermotor emang adalah pemberi kontribusi paling besar atas hal ini. Alasannya juga banyak: mesin mobil mengeluarkan panas. Bayangin kalo setiap hari jalanan Jakarta dilalui ribuan mobil dengan mesin panas, maka pasti panas itu ter-radiasi ke sekitarnya.
Hasil pembakaran bahan bakar juga. Pembakaran yang enggak sempurna menghasilkan gas CO (carbon monoxyde) yang massa jenisnya lebih rendah daripada udara, sehingga gas itu terus naik ke atas. Terima kasih untuk CO, lapisan ozon kita jadi berlubang-lubang. CO juga bersifat racun bagi tubuh manusia.
Sedangkan pembakaran yang sempurna menghasilkan gas CO2 (carbon dioxyde). Yang satu ini massa jenisnya lebih besar, sehingga CO2 enggak melayang, melainkan tetap di permukaan bumi. CO2 inilah yang ngebuat udara panas.
Yang kedua, adalah penggunaan AC di gedung-gedung dan rumah-rumah.
Seperti yang kita tahu, freon dari AC juga berperan dalam merusak lapisan ozon. Tapi bukan cuma itu. Pemakaian AC di dalam ruangan yang notabene diatur dingin banget (antara 16 - 20 derajat celcius) juga bikin panas. Kenapa? Udara panas yang ada di dalam ruangan dialirkan keluar, bayangin aja; di luar udah panas, eh ditambah panas lagi.
Karena berada di ruangan yang dingin, otomatis tubuh manusia akan menyesuaikan dengan kondisi sekitarnya. Karena udah beradaptasi dengan udara dalam ruangan, begitu keluar -- DUAR. Panas menyengat luar biasa, dan panas yang dirasain oleh orang yang baru dari ruangan dingin akan terasa lebih beberapa kali lipat.
Dan yang ketiga, adalah kurangnya yang hijau-hijau.
Bukan, bukan tahi ayam. Bukan juga upil. Upil udah begitu berlebih; bermilyar-milyar manusia di bumi, dengan masing-masing punya dua lubang hidung, gue heran bumi belom tertutup olehnya. Bukan, hijau yang gue maksud adalah tumbuhan.
Yep, teman-teman dari Kingdom Plantae itulah yang harusnya mengurangi kadar CO2 di udara. Tetapi yang terjadi adalah hutan ditebang dimana-mana. Alhasil, CO2 tetap merajalela. Panas, ya?
*
Oleh karena tersentuh dengan sesi diskusi tersebut (dan sebagai pertanggungjawaban sebagai orang yang mempresentasikannya), gue jadi pengen berperan untuk mengurangi pengrusakan bumi ini. Mulai dari yang paling gampang: naik sepeda.
Sejak acara Fun Bike sekolah beberapa waktu lalu, gue telah membetulkan sepeda Federal tua gue. Dan akhir-akhir ini, gue udah mulai sering ke sekolah naik sepeda. Asyik ternyata, mengayuh pelan-pelan di kesunyian jalanan pagi hari, ditemani mentari yang masih mengintip dibalik tidurnya, serta semilir sejuk angin yang menerpa setiap senti kulitku... satu kalimat lagi dan gue akan jadi penerus Chairil Anwar.
Anyhow, kata seorang guru olahraga gue, katanya bila situasi memungkinkan, tahun ajaran depan sekolah gue akan membuat komunitas sepeda. Fun, is it not? Sehat sekaligus menyelamatkan lingkungan.
*
Udah ah, gue akhiri post ini sampai sini aja. Karena mungkin kalo lebih panjang lagi, gue bisa kepilih jadi duta penyelamatan lingkungan UNICEF atau apa. Akhir kata, mengutip kata-kata dari film Chicken Little:
"Come on, Dad! We've got a planet to save!"
Sebenernya mood gue hari ini agak setengah-setengah (hampir setengah-setengah, tapi setengah setengah-setengah, err...), dan dua faktor penyebabnya adalah cuaca yang aneh belakangan ini serta tangan gue yang keseleo saat main futsal pagi tadi. Akhirnya hati gue gundah gulana. Resah gelisah. Enggak enak deh pokoknya. Untungnya yang keseleo tangan kiri, jadi gue masih bisa nulis. Meskipun gue bingung gimana cara gue cebok nantinya.
Ehem.
Tapiiiii... atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan permintaan rekan saya Dana untuk meng-update blog saya ini, jadilah post ini saya tulis dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Yosh.
Terima kasih untuk Dana karena telah menjadi pembaca setia blog ini. Lo enggak gue sogok kan? Enggak kan? Bilang aja enggak, nanti gue tambahin sepuluh ribu deh.
*
Speaking of cuaca, emang cuaca di Jakarta sekarang-sekarang ini nggak jelas ya? Seharusnya mulai April kemaren udah masuk musim kemarau, tapi nyatanya, kayak hari ini, ujan deres. Padahal paginya panas sepanas-panasnya panas, kalo kata Jason Mraz: "You're so hot that I'm melting."
Usut punya usut, ternyata ini adalah salah satu efek global warming atawa pemanasan global. Emang saking seringnya diomongin, jadi terkesan overrated dan klise. Tapi, itulah yang terjadi.
Minggu kemaren, di pelajaran Kimia, gue beserta kelompok yang ditugaskan membuat sebuah poster membuat satu tentang pemanasan global. Dan jreng-jreng, inilah poster kami:
Di kelas itu, gue dan kawan-kawan ditugaskan mempresentasikan poster itu. Akhirnya jadilah sebuah ajang diskusi juga dengan Pak Iman, guru Kimia gue, tentang pemanasan global.
Kenapa jalanan di Jakarta panas banget? Jawabannya ada tiga.
Yang pertama, adalah karena banyaknya kendaraan bermotor.
Sebenernya kalo gue bilang, kendaraan bermotor emang adalah pemberi kontribusi paling besar atas hal ini. Alasannya juga banyak: mesin mobil mengeluarkan panas. Bayangin kalo setiap hari jalanan Jakarta dilalui ribuan mobil dengan mesin panas, maka pasti panas itu ter-radiasi ke sekitarnya.
Hasil pembakaran bahan bakar juga. Pembakaran yang enggak sempurna menghasilkan gas CO (carbon monoxyde) yang massa jenisnya lebih rendah daripada udara, sehingga gas itu terus naik ke atas. Terima kasih untuk CO, lapisan ozon kita jadi berlubang-lubang. CO juga bersifat racun bagi tubuh manusia.
Sedangkan pembakaran yang sempurna menghasilkan gas CO2 (carbon dioxyde). Yang satu ini massa jenisnya lebih besar, sehingga CO2 enggak melayang, melainkan tetap di permukaan bumi. CO2 inilah yang ngebuat udara panas.
Yang kedua, adalah penggunaan AC di gedung-gedung dan rumah-rumah.
Seperti yang kita tahu, freon dari AC juga berperan dalam merusak lapisan ozon. Tapi bukan cuma itu. Pemakaian AC di dalam ruangan yang notabene diatur dingin banget (antara 16 - 20 derajat celcius) juga bikin panas. Kenapa? Udara panas yang ada di dalam ruangan dialirkan keluar, bayangin aja; di luar udah panas, eh ditambah panas lagi.
Karena berada di ruangan yang dingin, otomatis tubuh manusia akan menyesuaikan dengan kondisi sekitarnya. Karena udah beradaptasi dengan udara dalam ruangan, begitu keluar -- DUAR. Panas menyengat luar biasa, dan panas yang dirasain oleh orang yang baru dari ruangan dingin akan terasa lebih beberapa kali lipat.
Dan yang ketiga, adalah kurangnya yang hijau-hijau.
Bukan, bukan tahi ayam. Bukan juga upil. Upil udah begitu berlebih; bermilyar-milyar manusia di bumi, dengan masing-masing punya dua lubang hidung, gue heran bumi belom tertutup olehnya. Bukan, hijau yang gue maksud adalah tumbuhan.
Yep, teman-teman dari Kingdom Plantae itulah yang harusnya mengurangi kadar CO2 di udara. Tetapi yang terjadi adalah hutan ditebang dimana-mana. Alhasil, CO2 tetap merajalela. Panas, ya?
*
Oleh karena tersentuh dengan sesi diskusi tersebut (dan sebagai pertanggungjawaban sebagai orang yang mempresentasikannya), gue jadi pengen berperan untuk mengurangi pengrusakan bumi ini. Mulai dari yang paling gampang: naik sepeda.
Sejak acara Fun Bike sekolah beberapa waktu lalu, gue telah membetulkan sepeda Federal tua gue. Dan akhir-akhir ini, gue udah mulai sering ke sekolah naik sepeda. Asyik ternyata, mengayuh pelan-pelan di kesunyian jalanan pagi hari, ditemani mentari yang masih mengintip dibalik tidurnya, serta semilir sejuk angin yang menerpa setiap senti kulitku... satu kalimat lagi dan gue akan jadi penerus Chairil Anwar.
Anyhow, kata seorang guru olahraga gue, katanya bila situasi memungkinkan, tahun ajaran depan sekolah gue akan membuat komunitas sepeda. Fun, is it not? Sehat sekaligus menyelamatkan lingkungan.
*
Udah ah, gue akhiri post ini sampai sini aja. Karena mungkin kalo lebih panjang lagi, gue bisa kepilih jadi duta penyelamatan lingkungan UNICEF atau apa. Akhir kata, mengutip kata-kata dari film Chicken Little:
"Come on, Dad! We've got a planet to save!"
Subscribe to:
Posts (Atom)