Friday, August 20, 2010

65 years from my perspective

Seperti yang kita ketahui, tanggal 17 Agustus lalu, Indonesia merayakan 65 tahun kemerdekaannya. Tadinya gue udah semangat menyambut hari tersebut. Kenapa? Karena gue berharap gue bisa unjuk gigi, di lomba makan kerupuk. Terus gue inget gue puasa.

Kebolehan gue ini ternyata harus disimpen sampai tahun depan. Huh!

*

Anyway...

Di hari ulang tahunnya yang ke 65 ini, Indonesia tentunya udah bukan negara muda lagi. 65 tahun, boy. Udah dapet tunjangan hari tua tuh. Menurut gue wajar kalo berharap di usia ke-65 ini, Indonesia menjadi lebih dewasa, lebih bersatu, dan segala lebih-lebih yang lainnya.

Provocative Proactive episode lalu membahas tentang krisis kebanggaan rakyat terhadap negara Indonesia. Gimana enggak, mengutip kata Raditya Dika: Gimana kita mau bangga terhadap Indonesia kalau Indonesia-nya sendiri seperti enggak mau dibanggakan?

Yep, guys, we are thinking the same thing—or things. Udah banyak 'cacat' di Indonesia yang membuat kita susah bangga akan Indonesia. Perbandingan alasan untuk bangga dengan alasan untuk tidak bangga mungkin mencapai satu banding lima puluh.

Gue tau, rasanya kejam kalo gue langsung bilang gue enggak bangga dengan Indonesia. Seperti yang gue bilang tadi, diantara lima puluh kabar negatif tentang Indonesia, pasti ada beberapa kabar yang positif. Tapi, apa benar kita perlu mengais-ngais untuk menemukan kebanggaan?

Ada satu pertanyaan yang menyentuh buat gue, yang kemaren di ProvocActive ditanyakan sambil lalu oleh Pak Sutarto (yang bahkan enggak sempet dijawab, menyebalkan):
'Sebenernya Indonesia itu siapa sih?'

Pertanyaan itu,
ngebuat gue mikir.

Kalau kita bicara tentang Indonesia sebagai alam, udah pasti gue bangga. Dengan adanya archipelago menawan yang terbesar di dunia, pantai-pantai yang masih indah, bentangan hijau hutan yang luas, siapa sih yang enggak bangga?

Tapi begitu bicara Indonesia sebagai bangsa, wah.
Gue enggak mampu nyelesaiin kalimat barusan.

Jadi gue rasa gue enggak bisa menembak bahwa gue enggak bangga terhadap Indonesia secara keseluruhan, namun hanya pada beberapa elemennya. Banyak hal tentang Indonesia yang ngebuat gue ga bisa ngapa-ngapain kecuali tertawa satir. Banyak, tapi enggak semua.

Gue rasa manusiawi kalo kadang gue berharap gue adalah warga negara lain. Tapi ketika gue inget bahwa di sini gue lahir, di sini gue menghabiskan 16 tahun hidup gue, dan beberapa alasan lainnya, gue selalu bisa tetep cinta sama Indonesia. Cinta. Berat ga sih.

Tetapi mungkin salah satu alasan terbesar gue yang enggak tergoyahkan oleh berita-berita negatif itu adalah, karena gue percaya Indonesia bisa berubah.

Skeptis, ya. Sarkastis, mungkin. Tapi enggak apatis. Dan menyimpan harapan. Itu gue.

0 Comments:

Post a Comment

What do you think?