Seperti biasa, terik matahari menyelimuti jalanan di Jakarta. Para pengguna jalan banjir keringat; kecuali orang-orang berjas dan berdasi di mobil-mobil mewah itu, yang tidak sedikitpun merasakan panasnya matahari yang berada tepat di atas kepala itu.
Ya, panas matahari menyinari semuanya, termasuk metro mini yang kunaiki.
Pipiku mengucurkan keringat—aku juga merasa bajuku mulai basah. Dalam hati, aku membayangkan betapa nikmatnya berada di rumah, nyaman dan tenteram. Tapi dalam kondisi basah oleh keringat seperti ini, bayangan itu pun tak mampu mengusir perasaan sebal terhadap panasnya hari.
Aku melihat sekeliling. Penumpang yang lainnya hampir sama sepertiku; berkeringat, menunjukkan wajah tak senang. Mungkin beberapa dari mereka berharap dapat cepat pulang ke rumah, atau mungkin sampai di tempat kerja yang sejuk, dan menyesalkan mengapa mereka harus berada di situasi yang tidak menyenangkan ini.
Metro mini ini berhenti di setiap halte; menurunkan atau menaikkan penumpang, tukang jualan, pengamen. Ketika metro mini sampai di satu halte, seorang laki-laki naik.
Laki-laki tersebut berkulit cokelat terbakar matahari, berumur sekitar dua puluh tahunan, mengenakan kaus lusuh berwarna hitam. Dengan rambut panjang dan janggut tipisnya, terlihat jelas bahwa ia tidak naik sebagai penumpang. Ia berdiri di dekat pintu sebelah depan.
"Selamat siang, bapak-bapak, ibu-ibu," mulai laki-laki itu. "Maaf mengganggu kenyamanan Anda, izinkan saya sejenak untuk melantunkan suatu goresan karya sastra, persembahan dari Chairil Anwar yang abadi di hati kami, para seniman jalanan. Semoga persembahan ini dapat menghibur Anda yang ada di sini dan dapat menorehkan sesuatu di hati."
Kemudian laki-laki itu mulai bernyanyi dengan suara seraknya:
Indonesia, tanah air beta
pusaka, abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
tetap dipuja-puja bangsa
Sebuah melodi yang menyayat hati; setidaknya bagi orang-orang yang peka, orang-orang yang peduli. Laki-laki itu melanjutkan 'pertunjukan'-nya dengan membaca sebuah puisi dari Chairil Anwar yang berjudul Do'a:
"Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
CahayaMu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintuMu aku mengetuk
Aku tak bisa berpaling."
Dan laki-laki itu mengakhirinya dengan penggalan terakhir lagu Indonesia Pusaka:
Tempat berlindung di hari tua
tempat akhir menutup mata
Sebuah karya yang mempesona, disampaikan dengan penuh emosi dan penghayatan, yang seharusnya bisa menyentuh siapapun yang mendengarnya, tak terkecuali diriku.
"Saya mengucapkan terima kasih," kata laki-laki itu. Ia mengeluarkan sebuah kantung dari saku celananya. "Atas waktu yang telah diberikan kepada saya untuk menyampaikan karya sastra ini. Semoga karya ini dapat membekas dan memberikan sesuatu untuk Anda semua."
Ia lalu mulai menyodorkan kantung itu ke setiap penumpang, mulai dari depan, demi sumbangan atas perjuangannya terhadap sastra. Beberapa tampak menggelengkan kepala, yang ia terima dengan ikhlas. Aku sendiri menyumbang seribu rupiah; jumlah yang aku punya saat itu. Tak seberapa, memang, tapi toh laki-laki tersenyum saat mengucapkan terima kasih padaku. Aku merasa senang karena bisa membantunya, dan sedikit kecewa karena tak bisa memberi lebih.
Setelah selesai, laki-laki itu turun dari metro mini.
*
Sastra tampaknya tak lagi mendapat tempat yang layak di kebanyakan orang dewasa ini. Sastra tak lagi dianggap sebagai karya yang menyentuh; kecuali oleh segelintir orang-orang yang masih mempunyai hati yang jujur kepada keindahan karya-karya mempesona itu. Yang lain hanya memikirkan teknologi dan uang, uang, uang.
Para 'seniman jalanan' ini—begitu mereka menyebut dirinya—adalah contoh dari pejuang-pejuang karya seni yang tak kenal lelah membanting tulang demi mengabadikan karya-karya para penyair seperti Chairil Anwar, W.S. Rendra, Kahlil Gibran, Taufiq Ismail, dan lainnya. Mereka rela berpanas-panasan di jalanan demi kesetiaan dan kecintaan mereka terhadap karya-karya tersebut.
Tetapi, layakkah mereka seperti itu? Akankah mereka, pada nantinya, meninggalkan gelar 'seniman jalanan' dan menjadi seniman sesungguhnya di hati masyarakat? Tidak ada yang tahu.
Hingga saat itu tiba, mereka hanya bisa menuangkannya lewat puisi-puisi itu, di tempat kumuh seperti metro mini. Dengan tersenyum.
Saturday, March 06, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Comments:
Post a Comment
What do you think?