Hi.
I know, I know, I can see all the dust here thanks to me for not posting anything.
I really wished I could use 'getting abducted by aliens' or 'pinned down by an enormous godzilla' or something like that as a reason for my absence but since I can not, here I am, apologizing for, like, the zillionth time to all my readers (and maybe those who used to be).
So, what am I going to talk about here?
Okay, here goes.
Last Saturday was the last day of school before holiday, on which the students with their mums and dads receive the school report for the semester—the student's, of course, not the mums and dads—and get home either happy or sad, depending on the result.
Me? Well, as the—uh, stupidest student in my school, surely I didn't give too much thought about it. So I went to my class at school with Mum and my little brother, and we sat down. Mum and I were wondering how's the result going to be.
"Black or red?" Mum asked.
(note: if the numbers are red, it means below average, but I don't know if they still use that symbol in school reports anymore. So why did my Mum ask that? As Squidward says, "How should I know? Ask my mother!")
I was going to reply her with "How about pink?" but I stopped after considering how feminine that question would sound.
"Let's just wait and see" was my reply.
After seeing my classmates came and went, it's my turn to get the report. My classmaster, Mrs. Retno, was smiling at me and Mum. There are three thoughts that slipped into my mind at the time:
One, I'd got good grades.
Two, that was a grin, hinting that my report sucked.
Three, she thinks I'm handsome.
All right, I made up the last one. There's no way she thinks I'm handsome; I mean, everyone KNOWS I am.
Ehem.
Anyway, so there we sat, talking about the weather, the sale at Grand Indonesia, and how cool Irfan Bachdim is—that's obviously not it, I was just testing you. Mum asked how I behaved at school and stuff and Mrs. Retno replied with the typical "Oh there's nothing wrong he's a good boy" and all. A moment later,
"Oh, and do let me congratulate you, Bobby," Mrs. Retno said with that very smile she showed just then.
"What for, ma'am?" asked I. I hardly held the temptation to add "Have I won a lottery that gives me free trip to England and two million Euros?"
"You ranked first of all science classes, paralleled!" said Mrs. Retno cheerfully.
My heart thumped.
I felt my belly hurt.
At first I thought it was because of the surprise but then I found out my brother was punching my belly for no reason.
"Re-really?" I asked, shocked.
"Wow, great job, Bobby!" Mum claimed.
"Yes, hold on to it!" Mrs. Retno added.
"Buy me an ice cream!" my brother yelled. Bro, you're so out-of-topic.
So I examined my report and, well, it was quite satisfying. But I, the stupid old me, as the first? That's a story to tell my grandchildren. Not that I've already had them, of course.
After a little more chitchat, Mum, my brother, and I left the classroom and went back home.
"So, it is black after all, yeah?" Mum asked rhetorically. I just put a smile on my face as the answer.
Even so,
I'd still prefer pink. Uhm.
Wednesday, December 22, 2010
Friday, November 05, 2010
Dan titel presiden itu kembali tersemat...
Masih inget posting gue berabad-abad lalu yang berjudul Presiden Pangkalan Ojek? Kalau lupa, atau mungkin pembaca orangnya seperti saya yang males mengingat-ingat, monggo dikunjungi lagi di sini.
Udah inget? Nah, posting gue kali ini sedikit banyak berhubungan dengan itu.
As we all know, cuaca di Jakarta sekarang lagi enggak beres. Panas terik dan hujan deras bisa terjadi di hari yang sama, mungkin cuma berbeda beberapa puluh menit. Keluar rumah panas, di jalan keujanan. Macet. Bahkan cuaca ekstrem ini membuat tukang sayur bingung. Pembaca bingung kenapa tukang sayur bingung? Jangan khawatir, gue yang nulis aja bingung.
Nah, gue sendiri enggak lepas dari fluktuasi cuaca yang enggak jelas ini. Beberapa kali gue basah kuyup ketika pulang sekolah, nyeberang jalanan banjir, sampai seandainya sepatu gue bisa ngomong, pasti gue serem terus copot sepatu dan buang sejauh-jauhnya. Eh, maksudnya pasti dia teriak minta ampun atas siksaan yang dideritanya.
Apa inti dari omongan ini? Karena keadaan ini, ibunda menganjurkan gue untuk jangan naik sepeda ke sekolah dulu. Alasannya, kesian sepedanya kalo kena hujan dan nerobos banjir terus menerus. Jadi Ibu tak kesian padaku? Salah aku apa, Bu? APAAAA?
Ehm.
Jadi, karena menuruti perintah ibunda agar tak dikutuk seperti Uda Malin, jadilah gue mengambil alternatif ketika pulang sekolah. Yaitu: naik ojek.
Pernah gue sebut di posting Presiden Pangkalan Ojek tentang pangkalan ojek di Bendungan Hilir (benhil). Nah, sekarang pangkalan itu udah jadi markas gue untuk keberangkatan menuju rumah. Untuk menghemat, gue pilih ojek yang paling ujung (saking panjangnya) karena itu lebih deket ke arah rumah gue. Dan biasanya, yang di ujung sebelah sana bisa dikasih ongkos yang lebih murah. Muahahah.
Waktu demi waktu berlalu. Lama kelamaan, ojek yang jadi langganan gue udah banyak. Banyak juga yang udah tau rumah gue. Ini memunculkan masalah baru: mereka jadi rebutan mengojeki gue pulang.
Awalnya, ini menyenangkan, karena artinya gue udah enggak usah ngasih tau rumah gue dimana lagi. Tapi, kadang kalo gue udah naik satu ojek, yang lain tampak agak kesel sambil neriakin ojek yang gue naikin, karena mungkin merek,a anggep ojek ini nyelak. Teng, gue jadi ga enak.
Dan lagi, beberapa tukang ojeknya itu ada sering ngajak gue ngobrol kalo lagi di motor. Gue dan mereka apal muka, jadi kalo satu saat gue lagi ga naik ojek mereka dan mereka ngeliat gue, gue cuma bisa senyum minta maaf yang mereka bales dengan anggukan kepala. Teng, perasaan ga enak kedua.
Tampaknya gue punya pesona di kalangan tukang ojek. Uh.
*
Eniwei, satu harapan gue setelah mengalami kejadian ini adalah semoga saja cuaca kembali normal, sehingga gue boleh menggunakan sepeda gue lagi. Dengan naik sepeda, jumlah uang jajan gue yang bisa ditabung, kan, jadi nambah. (bukan pelit, ini namanya ekonomis *ngeles*)
Dan lagi, kalau ini terus berlanjut,
bisa-bisa Pangkalan Ojek Bobby Sejahtera buka cabang baru.
Udah inget? Nah, posting gue kali ini sedikit banyak berhubungan dengan itu.
As we all know, cuaca di Jakarta sekarang lagi enggak beres. Panas terik dan hujan deras bisa terjadi di hari yang sama, mungkin cuma berbeda beberapa puluh menit. Keluar rumah panas, di jalan keujanan. Macet. Bahkan cuaca ekstrem ini membuat tukang sayur bingung. Pembaca bingung kenapa tukang sayur bingung? Jangan khawatir, gue yang nulis aja bingung.
Nah, gue sendiri enggak lepas dari fluktuasi cuaca yang enggak jelas ini. Beberapa kali gue basah kuyup ketika pulang sekolah, nyeberang jalanan banjir, sampai seandainya sepatu gue bisa ngomong, pasti gue serem terus copot sepatu dan buang sejauh-jauhnya. Eh, maksudnya pasti dia teriak minta ampun atas siksaan yang dideritanya.
Apa inti dari omongan ini? Karena keadaan ini, ibunda menganjurkan gue untuk jangan naik sepeda ke sekolah dulu. Alasannya, kesian sepedanya kalo kena hujan dan nerobos banjir terus menerus. Jadi Ibu tak kesian padaku? Salah aku apa, Bu? APAAAA?
Ehm.
Jadi, karena menuruti perintah ibunda agar tak dikutuk seperti Uda Malin, jadilah gue mengambil alternatif ketika pulang sekolah. Yaitu: naik ojek.
Pernah gue sebut di posting Presiden Pangkalan Ojek tentang pangkalan ojek di Bendungan Hilir (benhil). Nah, sekarang pangkalan itu udah jadi markas gue untuk keberangkatan menuju rumah. Untuk menghemat, gue pilih ojek yang paling ujung (saking panjangnya) karena itu lebih deket ke arah rumah gue. Dan biasanya, yang di ujung sebelah sana bisa dikasih ongkos yang lebih murah. Muahahah.
Waktu demi waktu berlalu. Lama kelamaan, ojek yang jadi langganan gue udah banyak. Banyak juga yang udah tau rumah gue. Ini memunculkan masalah baru: mereka jadi rebutan mengojeki gue pulang.
Awalnya, ini menyenangkan, karena artinya gue udah enggak usah ngasih tau rumah gue dimana lagi. Tapi, kadang kalo gue udah naik satu ojek, yang lain tampak agak kesel sambil neriakin ojek yang gue naikin, karena mungkin merek,a anggep ojek ini nyelak. Teng, gue jadi ga enak.
Dan lagi, beberapa tukang ojeknya itu ada sering ngajak gue ngobrol kalo lagi di motor. Gue dan mereka apal muka, jadi kalo satu saat gue lagi ga naik ojek mereka dan mereka ngeliat gue, gue cuma bisa senyum minta maaf yang mereka bales dengan anggukan kepala. Teng, perasaan ga enak kedua.
Tampaknya gue punya pesona di kalangan tukang ojek. Uh.
*
Eniwei, satu harapan gue setelah mengalami kejadian ini adalah semoga saja cuaca kembali normal, sehingga gue boleh menggunakan sepeda gue lagi. Dengan naik sepeda, jumlah uang jajan gue yang bisa ditabung, kan, jadi nambah. (bukan pelit, ini namanya ekonomis *ngeles*)
Dan lagi, kalau ini terus berlanjut,
bisa-bisa Pangkalan Ojek Bobby Sejahtera buka cabang baru.
Monday, September 20, 2010
Mango Juice Intermezzo
Mumpung lagi menumpang di jok belakang wi-fi Food Court lantai 2 Thamrin City sambil minum jus mangga, ada baiknya gue menyempatkan diri ngeblog lagi.
(Padahal ini udah kali kesekian gue numpang wi-fi di sini, cuma baru keinget ngeblog sekarang. Maklum, keseringan browsing. Browsing apa? Ada deh...)
*
Di tanggal 20 September 2010 ini, atau yang kerennya disebut 20092010, dengan resmi telah diumumkan bahwa liburan telah berakhir. Artinya: sekolah lagi.
Banjir ulangan yang mengikuti libur lebaran kayaknya udah jadi rutinitas tiap tahun. Dan ya, kalo tanggal 20 diibaratkan sebuah pintu, maka dibalik pintu itu telah duduk manis menunggu ulangan-ulangan macam matematika, fisika, biologi, kimia, serta kawan-kawan seperjuangannya.
Tapi perlukah kita takut? Tidak! Basmi saja semua dengan baygon. Ups, nyebut merek.
Alhasil, akhirnya semalam buku-buku pelajaran yang terjejer rapi tak tersentuh selama liburan harus gue acak-acak lagi. Halo, buku. Aku tahu kau merindukanku. Tapi jangan deket-deket ya, nanti novel-novel itu marah kepadaku.
Ehem.
Acara hari ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, diawali dengan halal bihalal keluarga besar sekolah. Bagi gue, ini seperti latihan konser metal.
Kenapa?
Bayangin aja, lo harus headbang di depan berpuluh-puluh guru dan karyawan selama proses halal bihalal tersebut. Headbang, ke arah tangan guru. Alias salam cium tangan.
*
Udahan dulu ah. Begitu gue baca lagi, post ini ga ada penting-pentingnya. Hmm, ya sudahlah.
Minum jus mangganya lagi, aah.
(Padahal ini udah kali kesekian gue numpang wi-fi di sini, cuma baru keinget ngeblog sekarang. Maklum, keseringan browsing. Browsing apa? Ada deh...)
*
Di tanggal 20 September 2010 ini, atau yang kerennya disebut 20092010, dengan resmi telah diumumkan bahwa liburan telah berakhir. Artinya: sekolah lagi.
Banjir ulangan yang mengikuti libur lebaran kayaknya udah jadi rutinitas tiap tahun. Dan ya, kalo tanggal 20 diibaratkan sebuah pintu, maka dibalik pintu itu telah duduk manis menunggu ulangan-ulangan macam matematika, fisika, biologi, kimia, serta kawan-kawan seperjuangannya.
Tapi perlukah kita takut? Tidak! Basmi saja semua dengan baygon. Ups, nyebut merek.
Alhasil, akhirnya semalam buku-buku pelajaran yang terjejer rapi tak tersentuh selama liburan harus gue acak-acak lagi. Halo, buku. Aku tahu kau merindukanku. Tapi jangan deket-deket ya, nanti novel-novel itu marah kepadaku.
Ehem.
Acara hari ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, diawali dengan halal bihalal keluarga besar sekolah. Bagi gue, ini seperti latihan konser metal.
Kenapa?
Bayangin aja, lo harus headbang di depan berpuluh-puluh guru dan karyawan selama proses halal bihalal tersebut. Headbang, ke arah tangan guru. Alias salam cium tangan.
*
Udahan dulu ah. Begitu gue baca lagi, post ini ga ada penting-pentingnya. Hmm, ya sudahlah.
Minum jus mangganya lagi, aah.
Friday, August 20, 2010
65 years from my perspective
Seperti yang kita ketahui, tanggal 17 Agustus lalu, Indonesia merayakan 65 tahun kemerdekaannya. Tadinya gue udah semangat menyambut hari tersebut. Kenapa? Karena gue berharap gue bisa unjuk gigi, di lomba makan kerupuk. Terus gue inget gue puasa.
Kebolehan gue ini ternyata harus disimpen sampai tahun depan. Huh!
*
Anyway...
Di hari ulang tahunnya yang ke 65 ini, Indonesia tentunya udah bukan negara muda lagi. 65 tahun, boy. Udah dapet tunjangan hari tua tuh. Menurut gue wajar kalo berharap di usia ke-65 ini, Indonesia menjadi lebih dewasa, lebih bersatu, dan segala lebih-lebih yang lainnya.
Provocative Proactive episode lalu membahas tentang krisis kebanggaan rakyat terhadap negara Indonesia. Gimana enggak, mengutip kata Raditya Dika: Gimana kita mau bangga terhadap Indonesia kalau Indonesia-nya sendiri seperti enggak mau dibanggakan?
Yep, guys, we are thinking the same thing—or things. Udah banyak 'cacat' di Indonesia yang membuat kita susah bangga akan Indonesia. Perbandingan alasan untuk bangga dengan alasan untuk tidak bangga mungkin mencapai satu banding lima puluh.
Gue tau, rasanya kejam kalo gue langsung bilang gue enggak bangga dengan Indonesia. Seperti yang gue bilang tadi, diantara lima puluh kabar negatif tentang Indonesia, pasti ada beberapa kabar yang positif. Tapi, apa benar kita perlu mengais-ngais untuk menemukan kebanggaan?
Ada satu pertanyaan yang menyentuh buat gue, yang kemaren di ProvocActive ditanyakan sambil lalu oleh Pak Sutarto (yang bahkan enggak sempet dijawab, menyebalkan):
'Sebenernya Indonesia itu siapa sih?'
Pertanyaan itu,
ngebuat gue mikir.
Kalau kita bicara tentang Indonesia sebagai alam, udah pasti gue bangga. Dengan adanya archipelago menawan yang terbesar di dunia, pantai-pantai yang masih indah, bentangan hijau hutan yang luas, siapa sih yang enggak bangga?
Tapi begitu bicara Indonesia sebagai bangsa, wah.
Gue enggak mampu nyelesaiin kalimat barusan.
Jadi gue rasa gue enggak bisa menembak bahwa gue enggak bangga terhadap Indonesia secara keseluruhan, namun hanya pada beberapa elemennya. Banyak hal tentang Indonesia yang ngebuat gue ga bisa ngapa-ngapain kecuali tertawa satir. Banyak, tapi enggak semua.
Gue rasa manusiawi kalo kadang gue berharap gue adalah warga negara lain. Tapi ketika gue inget bahwa di sini gue lahir, di sini gue menghabiskan 16 tahun hidup gue, dan beberapa alasan lainnya, gue selalu bisa tetep cinta sama Indonesia. Cinta. Berat ga sih.
Tetapi mungkin salah satu alasan terbesar gue yang enggak tergoyahkan oleh berita-berita negatif itu adalah, karena gue percaya Indonesia bisa berubah.
Skeptis, ya. Sarkastis, mungkin. Tapi enggak apatis. Dan menyimpan harapan. Itu gue.
Kebolehan gue ini ternyata harus disimpen sampai tahun depan. Huh!
*
Anyway...
Di hari ulang tahunnya yang ke 65 ini, Indonesia tentunya udah bukan negara muda lagi. 65 tahun, boy. Udah dapet tunjangan hari tua tuh. Menurut gue wajar kalo berharap di usia ke-65 ini, Indonesia menjadi lebih dewasa, lebih bersatu, dan segala lebih-lebih yang lainnya.
Provocative Proactive episode lalu membahas tentang krisis kebanggaan rakyat terhadap negara Indonesia. Gimana enggak, mengutip kata Raditya Dika: Gimana kita mau bangga terhadap Indonesia kalau Indonesia-nya sendiri seperti enggak mau dibanggakan?
Yep, guys, we are thinking the same thing—or things. Udah banyak 'cacat' di Indonesia yang membuat kita susah bangga akan Indonesia. Perbandingan alasan untuk bangga dengan alasan untuk tidak bangga mungkin mencapai satu banding lima puluh.
Gue tau, rasanya kejam kalo gue langsung bilang gue enggak bangga dengan Indonesia. Seperti yang gue bilang tadi, diantara lima puluh kabar negatif tentang Indonesia, pasti ada beberapa kabar yang positif. Tapi, apa benar kita perlu mengais-ngais untuk menemukan kebanggaan?
Ada satu pertanyaan yang menyentuh buat gue, yang kemaren di ProvocActive ditanyakan sambil lalu oleh Pak Sutarto (yang bahkan enggak sempet dijawab, menyebalkan):
'Sebenernya Indonesia itu siapa sih?'
Pertanyaan itu,
ngebuat gue mikir.
Kalau kita bicara tentang Indonesia sebagai alam, udah pasti gue bangga. Dengan adanya archipelago menawan yang terbesar di dunia, pantai-pantai yang masih indah, bentangan hijau hutan yang luas, siapa sih yang enggak bangga?
Tapi begitu bicara Indonesia sebagai bangsa, wah.
Gue enggak mampu nyelesaiin kalimat barusan.
Jadi gue rasa gue enggak bisa menembak bahwa gue enggak bangga terhadap Indonesia secara keseluruhan, namun hanya pada beberapa elemennya. Banyak hal tentang Indonesia yang ngebuat gue ga bisa ngapa-ngapain kecuali tertawa satir. Banyak, tapi enggak semua.
Gue rasa manusiawi kalo kadang gue berharap gue adalah warga negara lain. Tapi ketika gue inget bahwa di sini gue lahir, di sini gue menghabiskan 16 tahun hidup gue, dan beberapa alasan lainnya, gue selalu bisa tetep cinta sama Indonesia. Cinta. Berat ga sih.
Tetapi mungkin salah satu alasan terbesar gue yang enggak tergoyahkan oleh berita-berita negatif itu adalah, karena gue percaya Indonesia bisa berubah.
Skeptis, ya. Sarkastis, mungkin. Tapi enggak apatis. Dan menyimpan harapan. Itu gue.
Wednesday, August 04, 2010
Recalling July
Sekarang udah bulan Agustus.
Dan gue baru sadar, ternyata bulan Juli kemaren gue enggak ada post sama sekali. Saya telah gagal sebagai blogger.
Yap, kawan-kawan sependeritaan, seperjuangan, dan sepersemar (itu supersemar), saya kembali menulis di 'rumah' yang telah lama saya tinggalkan ini. Dan post kali ini akan menceritakan tentang hal-hal yang terjadi selama gue enggak ngeblog.
(dan didedikasikan untuk semua yang minta gue update, karena bosen ngeliat Putri Dari Surga melulu tiap buka blog ini... mohon maaf, this is for you guys (and girls)!)
Yosh...
*
Hal pertama yang terjadi adalah... gue naik kelas!
Hurrah!
Setelah melalui setahun belajar di kelas sepuluh dan berjuang menembus Ujian Akhir Semester, akhirnya gue berhasil naik kelas dan masuk kelas XI-IA-A. Kelas A—yang, berdasarkan desas-desus merupakan kelas unggulan bersama kelas E—berisikan orang-orang yang mayoritasnya berprestasi ketika kelas sepuluh.
Pas gue tau ini, agak kaget juga. Karena ada gas elpiji meletus. Oh, bukan.
Karena itu artinya saingannya bisa gila-gilaan. Yet, as they say... what's life without a tiny bit of challenge?
*
The second thing, gue ingin mengucapkan terimakasih kepada Polygon atas terpilihnya gue sebagai salah satu penerima Beasiswa Prestasi Polygon ke-7.
Buat Mbak yang waktu itu nelepon saya untuk ngasih tau, maaf saya rada enggak konek karena baru aja selesai futsal. Dan saya saat itu sedang keringetan. Betul, gue juga enggak tau hubungannya apa.
Anyway, kalo Anda-Anda sekalian punya waktu kosong dan ingin tahu, sudi berkunjung ke website pengumumannya di link ini:
http://id.polygoncycle.com/index.php?pgid=news&mode=detail&catid=3&stoid=1059
Singkatnya, beasiswa ini diberikan kepada siswa-siswi yang *uhuk*berprestasi*uhuk* dan pergi ke sekolah dengan bersepeda. Karena gue merasa *lagilagiuhuk*memenuhi*uhukuhuklagi* kedua persyaratan tersebut, gue akhirnya nyoba untuk mengirim syarat yang diminta, dengan harapan dapat terpilih. Waktu itu gue enggak terlalu mikirin, karena mengingat calon-calonnya berasal dari seluruh Indonesia, gue pasrah aja kalo enggak dapet.
Taaaaapii... ternyata gue terpilih. Hore.
*
Yah,
sepertinya cuma itu doang yang gue tulis kali ini.
Kayaknya pas gue mulai nulis, ada banyak yang pengen gue curahkan. Tapi tiba-tiba cuma segini yang keluar. Fiuh.
Seperti yang diajarkan oleh guru Bahasa Indonesia, setiap karangan harus diakhiri dengan kesimpulan—atau bahasa kerennya, conclusion.
Dan kesimpulan yang bisa saya ambil dari tulisan saya sendiri ini, adalah:
Bulan Juli telah berlalu dengan cukup baik.
Semua usaha pasti ada hasilnya.
Redenominasi akan mempersimpel kerja akuntan.
Ga ngurangin nilai tukar, lho.
Dan gue baru sadar, ternyata bulan Juli kemaren gue enggak ada post sama sekali. Saya telah gagal sebagai blogger.
Yap, kawan-kawan sependeritaan, seperjuangan, dan sepersemar (itu supersemar), saya kembali menulis di 'rumah' yang telah lama saya tinggalkan ini. Dan post kali ini akan menceritakan tentang hal-hal yang terjadi selama gue enggak ngeblog.
(dan didedikasikan untuk semua yang minta gue update, karena bosen ngeliat Putri Dari Surga melulu tiap buka blog ini... mohon maaf, this is for you guys (and girls)!)
Yosh...
*
Hal pertama yang terjadi adalah... gue naik kelas!
Hurrah!
Setelah melalui setahun belajar di kelas sepuluh dan berjuang menembus Ujian Akhir Semester, akhirnya gue berhasil naik kelas dan masuk kelas XI-IA-A. Kelas A—yang, berdasarkan desas-desus merupakan kelas unggulan bersama kelas E—berisikan orang-orang yang mayoritasnya berprestasi ketika kelas sepuluh.
Pas gue tau ini, agak kaget juga. Karena ada gas elpiji meletus. Oh, bukan.
Karena itu artinya saingannya bisa gila-gilaan. Yet, as they say... what's life without a tiny bit of challenge?
*
The second thing, gue ingin mengucapkan terimakasih kepada Polygon atas terpilihnya gue sebagai salah satu penerima Beasiswa Prestasi Polygon ke-7.
Buat Mbak yang waktu itu nelepon saya untuk ngasih tau, maaf saya rada enggak konek karena baru aja selesai futsal. Dan saya saat itu sedang keringetan. Betul, gue juga enggak tau hubungannya apa.
Anyway, kalo Anda-Anda sekalian punya waktu kosong dan ingin tahu, sudi berkunjung ke website pengumumannya di link ini:
http://id.polygoncycle.com/index.php?pgid=news&mode=detail&catid=3&stoid=1059
Singkatnya, beasiswa ini diberikan kepada siswa-siswi yang *uhuk*berprestasi*uhuk* dan pergi ke sekolah dengan bersepeda. Karena gue merasa *lagilagiuhuk*memenuhi*uhukuhuklagi* kedua persyaratan tersebut, gue akhirnya nyoba untuk mengirim syarat yang diminta, dengan harapan dapat terpilih. Waktu itu gue enggak terlalu mikirin, karena mengingat calon-calonnya berasal dari seluruh Indonesia, gue pasrah aja kalo enggak dapet.
Taaaaapii... ternyata gue terpilih. Hore.
*
Yah,
sepertinya cuma itu doang yang gue tulis kali ini.
Kayaknya pas gue mulai nulis, ada banyak yang pengen gue curahkan. Tapi tiba-tiba cuma segini yang keluar. Fiuh.
Seperti yang diajarkan oleh guru Bahasa Indonesia, setiap karangan harus diakhiri dengan kesimpulan—atau bahasa kerennya, conclusion.
Dan kesimpulan yang bisa saya ambil dari tulisan saya sendiri ini, adalah:
Bulan Juli telah berlalu dengan cukup baik.
Semua usaha pasti ada hasilnya.
Redenominasi akan mempersimpel kerja akuntan.
Ga ngurangin nilai tukar, lho.
Tuesday, June 22, 2010
Putri Dari Surga
Seperti kebanyakan laki-laki ngenes yang enggak punya rencana dalam hari liburnya, gue sempet terbengong-bengong di rumah. Akhirnya, untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan (ngelamun jorok, bertindak anarkis dengan menghancurkan kloset yang tidak jelas tujuannya apa), gue memutuskan untuk menjalankan solo mission ke toko buku. Karena toko buku terdekat dari rumah gue ada di Plaza Semanggi, jadilah gue berangkat ke sana seorang diri. Sendirian. Di hari liburan. Kesian ya?
Dari kunjungan gue itu, gue berhasil membawa pulang (beli, bukan nyolong) beberapa buku. Tapi ada satu buku yang menyita perhatian gue. Ini bukunya:
Sekilas, dilihat dari judul, buku ini tampaknya berisi tentang cerita dongeng seorang putri cantik yang berasal dari surga dan bermain-main di kerajaannya yang damai. Tapi buku ini punya dua tagline yang ada di depan dan belakang buku, berbunyi:
Dua detik saja terlambat, semua orang akan berada dalam genggamannya. Dunia akan dikuasainya.
Dan satu lagi:
Ingat baik-baik
Tak seorang pun akan berpikir
Untuk menguasai dunia, menghancurkannya
dengan kasih sayang dan cinta
Kawan-kawan, tampaknya kita bukan berhadapan dengan putri dongeng kali ini. Dan keraguan gue itu diperjelas oleh sinopsis di sampul belakang buku itu.
"Novel ini tentang seorang gadis kecil Alynna. Orangtuanya meninggalkannya di rumah sakit saat melahirkannya. Beberapa orang sempat mengadopsi Alynna dan semua berakhir di penjara, karena mendapat tuduhan telah menyiksa Alynna. Hingga pada akhirnya pun ia mendapat simpati dari semua orang, tetapi ini justru melahirkan anarki yang maha dahsyat.
"Kenyataan sebenarnya adalah Alynna justru yang menyiksa dirinya sendiri karena dia dikuasai unsur jahat, dan hanya satu orang yang mengetahui hal ini: Nevy Morrison. Nevy Morrison menyimpulkan bahwa iblis mengutus Alynna untuk menghancurkan dunia dengan perantara orang-orang yang sangat simpati dengan penderitaannya."
Benar sekali, kawan. Kita bukan berhadapan dengan putri dongeng.
Dan malam ini, gue baru aja selesai baca buku itu (I know, I have a crazy speed at reading). Dan hanya satu kata untuk kesan gue terhadapnya.
Aneh. Aneh secara keseluruhan.
Pertama, gue enggak tahu ini novel terjemahan atau bukan. Novel ini enggak menggunakan bahasa khas novel pada umumnya, dan terdapat beberapa kata slang (nggak banyak) bahasa Indonesia yang tampak aneh untuk ditulis penerjemah. Tapi nama tokoh-tokoh seperti Alynna, Nevy Morrison, Vionna Morgan, dan Camilla Neill nggak biasa untuk novel Indonesia, meskipun itu mungkin aja.
Kedua adalah pengarangnya. Seperti tertera di gambar di atas, nama penulisnya adalah N Dean. Biografi singkatnya:
N Dean, lahir sebelum, setelah, atau mungkin juga sama dengan anda. Mulai aktif menulis sejak bisa menulis. Dan ia sama sekali bukan seorang penulis terkenal, oleh karena itu karya-karyanya pun jarang sekali dimuat dalam media lokal, nasional, apalagi internasional.
Profil itu sama sekali enggak mencantumkan tempat lahir atau apapun. Terlebih lagi, foto yang terpampang di sana hanyalah foto tampak samping close up seseorang dengan rambut panjang terurai, dengan menampilkan hanya sebagian kecil wajah, yaitu mata dan hidung, di sela-sela rambutnya. Dengan tampilan seperti kuntilanak itu, itu cowok apa cewek aja gue enggak tau.
Yang ketiga, adalah dari segi penuturan cerita. Enggak kayak novel-novel yang sering gue baca, cerita Putri Dari Surga tampak begitu blak-blakan. Semua seperti ditumpahkan begitu aja, enggak memberikan ruang untuk bernafas di sela-sela kalimatnya. Tapi entah kenapa, tulisan blak-blakan itu seakan punya magnet yang menarik untuk membuka halaman selanjutnya. Jujur, gue agak aneh dengan gaya penulisan yang enggak biasa, dan ada kesalahan (entah disengaja atau enggak) kata-kata dan tanda baca yang menurut gue enggak perlu.
Tapi dari segi cerita, bisa dibilang ini karya luar biasa. Penuh dengan twist-twist yang membingungkan, kenyataan-kenyataan yang menghentak. Dari fakta bahwa ternyata Alynna, si kecil yang selalu saja menjadi sorotan media, bukanlah anak dari Mr. dan Mrs. Burklay yang meninggal ketika rumahnya terbakar, hingga penyelidikan demi penyelidikan Nevy Morrison terhadap Alynna yang berujung pada satu hasil yang penuh misteri: angka 666.
*
Karena penasaran, gue buka google dan nyari Putri Dari Surga. Nihil, enggak ada hasilnya. Gue cari N Dean, enggak akurat juga. Gue nyari dari penerbit, Djavadipa, yang keluar malah buku kimia untuk SMA.
Gue bingung.
Gue buka website gramedia dan nyari judul buku Putri Dari Surga, 'buku yang dicari tidak ditemukan'.
Nahlo.
Gue mulai panik,
TERUS YANG GUE BELI INI BUKU APA?
Apalagi dengan fakta bahwa di akhir cerita, sang 'Iblis' masih berkeliaran, ngebuat gue merinding.
Tampaknya,
Putri Dari Surga akan terus menghantui gue!
Dari kunjungan gue itu, gue berhasil membawa pulang (beli, bukan nyolong) beberapa buku. Tapi ada satu buku yang menyita perhatian gue. Ini bukunya:
Judul: Putri Dari Surga
Penulis: N Dean
Penerbit: Djavadipa
Penulis: N Dean
Penerbit: Djavadipa
Sekilas, dilihat dari judul, buku ini tampaknya berisi tentang cerita dongeng seorang putri cantik yang berasal dari surga dan bermain-main di kerajaannya yang damai. Tapi buku ini punya dua tagline yang ada di depan dan belakang buku, berbunyi:
Dua detik saja terlambat, semua orang akan berada dalam genggamannya. Dunia akan dikuasainya.
Dan satu lagi:
Ingat baik-baik
Tak seorang pun akan berpikir
Untuk menguasai dunia, menghancurkannya
dengan kasih sayang dan cinta
Kawan-kawan, tampaknya kita bukan berhadapan dengan putri dongeng kali ini. Dan keraguan gue itu diperjelas oleh sinopsis di sampul belakang buku itu.
"Novel ini tentang seorang gadis kecil Alynna. Orangtuanya meninggalkannya di rumah sakit saat melahirkannya. Beberapa orang sempat mengadopsi Alynna dan semua berakhir di penjara, karena mendapat tuduhan telah menyiksa Alynna. Hingga pada akhirnya pun ia mendapat simpati dari semua orang, tetapi ini justru melahirkan anarki yang maha dahsyat.
"Kenyataan sebenarnya adalah Alynna justru yang menyiksa dirinya sendiri karena dia dikuasai unsur jahat, dan hanya satu orang yang mengetahui hal ini: Nevy Morrison. Nevy Morrison menyimpulkan bahwa iblis mengutus Alynna untuk menghancurkan dunia dengan perantara orang-orang yang sangat simpati dengan penderitaannya."
Benar sekali, kawan. Kita bukan berhadapan dengan putri dongeng.
Dan malam ini, gue baru aja selesai baca buku itu (I know, I have a crazy speed at reading). Dan hanya satu kata untuk kesan gue terhadapnya.
Aneh. Aneh secara keseluruhan.
Pertama, gue enggak tahu ini novel terjemahan atau bukan. Novel ini enggak menggunakan bahasa khas novel pada umumnya, dan terdapat beberapa kata slang (nggak banyak) bahasa Indonesia yang tampak aneh untuk ditulis penerjemah. Tapi nama tokoh-tokoh seperti Alynna, Nevy Morrison, Vionna Morgan, dan Camilla Neill nggak biasa untuk novel Indonesia, meskipun itu mungkin aja.
Kedua adalah pengarangnya. Seperti tertera di gambar di atas, nama penulisnya adalah N Dean. Biografi singkatnya:
N Dean, lahir sebelum, setelah, atau mungkin juga sama dengan anda. Mulai aktif menulis sejak bisa menulis. Dan ia sama sekali bukan seorang penulis terkenal, oleh karena itu karya-karyanya pun jarang sekali dimuat dalam media lokal, nasional, apalagi internasional.
Profil itu sama sekali enggak mencantumkan tempat lahir atau apapun. Terlebih lagi, foto yang terpampang di sana hanyalah foto tampak samping close up seseorang dengan rambut panjang terurai, dengan menampilkan hanya sebagian kecil wajah, yaitu mata dan hidung, di sela-sela rambutnya. Dengan tampilan seperti kuntilanak itu, itu cowok apa cewek aja gue enggak tau.
Yang ketiga, adalah dari segi penuturan cerita. Enggak kayak novel-novel yang sering gue baca, cerita Putri Dari Surga tampak begitu blak-blakan. Semua seperti ditumpahkan begitu aja, enggak memberikan ruang untuk bernafas di sela-sela kalimatnya. Tapi entah kenapa, tulisan blak-blakan itu seakan punya magnet yang menarik untuk membuka halaman selanjutnya. Jujur, gue agak aneh dengan gaya penulisan yang enggak biasa, dan ada kesalahan (entah disengaja atau enggak) kata-kata dan tanda baca yang menurut gue enggak perlu.
Tapi dari segi cerita, bisa dibilang ini karya luar biasa. Penuh dengan twist-twist yang membingungkan, kenyataan-kenyataan yang menghentak. Dari fakta bahwa ternyata Alynna, si kecil yang selalu saja menjadi sorotan media, bukanlah anak dari Mr. dan Mrs. Burklay yang meninggal ketika rumahnya terbakar, hingga penyelidikan demi penyelidikan Nevy Morrison terhadap Alynna yang berujung pada satu hasil yang penuh misteri: angka 666.
*
Karena penasaran, gue buka google dan nyari Putri Dari Surga. Nihil, enggak ada hasilnya. Gue cari N Dean, enggak akurat juga. Gue nyari dari penerbit, Djavadipa, yang keluar malah buku kimia untuk SMA.
Gue bingung.
Gue buka website gramedia dan nyari judul buku Putri Dari Surga, 'buku yang dicari tidak ditemukan'.
Nahlo.
Gue mulai panik,
TERUS YANG GUE BELI INI BUKU APA?
Apalagi dengan fakta bahwa di akhir cerita, sang 'Iblis' masih berkeliaran, ngebuat gue merinding.
Tampaknya,
Putri Dari Surga akan terus menghantui gue!
Tuesday, June 15, 2010
Roads Are War Fiels
Ujian akhir sekolah udah berakhir beberapa waktu lalu. Yang bisa dibilang cukup sukses; setidaknya jalan masuk ke jurusan IPA terbuka lebar. Dan gue akan maju selangkah dalam kehidupan gue. Kewren banjets enggak seh.
Anyway, gue udah lama enggak ngeblog lagi (yang kalau saja ada kontes banyak-banyakan ngomong kalimat barusan, mungkin gue bisa masuk tiga besar). Salahkan diri saya. Haduh, saya, gimana sih. Tampaknya ulangan beberapa hari yang lalu itu menghentikan produktivitas gue dalam menulis, baik blog dan yang lainnya. Tapi berita baiknya adalah liburan ini gue berniat menulis lagi, pick it up where I left off.
Sayangnyaaa... berita baik pasti datang dengan berita buruk. Nah, berita buruknya: udah dua hari ini gue sakit. Enggak ada tanda apa-apa, tau-tau ini penyakit nyamber. Hueh. Tiba-tiba gue ngerasa pusing, demam, meriang, pilek, batuk berdahak, dan jadi punya video Ariel-Luna. Oke, yang terakhir ga ada hubungannya.
Dan di minggu ga jelas ini (gue sebut minggu ga jelas, karena ini adalah minggu setelah UAS dimana murid-murid masih diharuskan datang ke sekolah meskipun enggak jelas maksud dan tujuannya apa. Well, you've been there done that.) gue memutuskan untuk tinggal di rumah (enggak, gue bukan sebelomnya tinggal di atas pohon atau apa). Hanya tidur-tiduran di kasur sambil sesekali bangun untuk makandan pipis.
Ga makna banget sih hidup lo, Bob. Hahhh... *desahan putus asa*
*
Di post kali ini, gue akan membahas tentang lalu lintas di Jakarta. Kenapa? Karena di saat belakangan gue sering naik sepeda ke sekolah, otomatis gue harus menghadapinya setiap pagi dan sore saat berangkat dan pulang. Dan gue yang dulunya selalu dianter bokap naik motor ini tiba-tiba jadi sadar bagaimana lalu lintas di Jakarta itu. Maklum, anak rumahan.
Lalu lintas di Jakarta semrawut dengan mobil dan motor. Pantes aja Jakarta panas, emisi karbon dioksida-nya udah sangat membeludak. *efek pasca-ujian*
Tapi ada satu hal yang ngebuat gue males terjun ke jalanan Jakarta.
Kalau di sepak bola, seberapapun kuatnya lawan, lo masih punya rekan setim yang ngebantu lo untuk mencapai kemenangan. Kalau di sekolah, seberapapun sulitnya ulangan, lo masih punya temen yang bisa dicontekin. Tapi di jalanan, semua berbeda.
Roads are war fields. Tampaknya semua orang berkonspirasi untuk memusuhi satu sama lain (itu namanya bukan konspirasi ya). Hanya ada sedikit banget toleransi sosial di jalan, semua terkalahkan oleh kepentingan individual untuk menuju tujuannya masing-masing. Dan demi tujuan itu, manusia bisa kehilangan mannernya.
Sebagai contoh, kalau tiba-tiba di jalan satu jalur ada truk yang mogok, mobil-mobil dibelakangnya akan 'menyanyikan' klakson nyaring yang bernada kesal. Mereka tidak peduli masalah apa yang menimpa truk dan supir truk, hanya peduli dengan waktu mereka yang terbuang sia-sia. Mereka melampiaskannya dengan memaki-maki dari dalam mobil. Cring, dosa nambah.
Belum lagi kalau ada yang melanggar rambu-rambu, khususnya lampu lalu lintas. Bagi sebagian orang, merah dan hijau adalah hijau. Yang melanggar tak tahu malu menancap gas, dan yang dilanggar, kendaraan yang dilalui jalurnya oleh si pelanggar, membunyikan klakson. Memaki lagi. Nambah dosa lagi.
Jujur, gue enggak akan turun ke jalanan kalau saja jalanan bukan jalan satu-satunya untuk pergi ke tempat yang dituju. Tapi sayangnya, itulah kenyataannya. Walhasil gue harus berhadapan dengan 'musuh-musuh' itu setiap hari. Apalagi gue naik sepeda, mereka naik mobil dan motor. Kalau sampai tabrakan, mereka bayar reparasi, nah gue bayar pemakaman.
Seandainya gue bisa terbang, atau setidaknya seandainya cheat jetpack dari game Grand Theft Auto berlaku di hidup gue, gue pasti udah menggunakannya. Tapi nanti bikin polusi lagi. Haduh, hidup ini susah.
Jadi saran gue,
jangan nyimpen video Ariel-Luna. Entar kena razia loh.
Anyway, gue udah lama enggak ngeblog lagi (yang kalau saja ada kontes banyak-banyakan ngomong kalimat barusan, mungkin gue bisa masuk tiga besar). Salahkan diri saya. Haduh, saya, gimana sih. Tampaknya ulangan beberapa hari yang lalu itu menghentikan produktivitas gue dalam menulis, baik blog dan yang lainnya. Tapi berita baiknya adalah liburan ini gue berniat menulis lagi, pick it up where I left off.
Sayangnyaaa... berita baik pasti datang dengan berita buruk. Nah, berita buruknya: udah dua hari ini gue sakit. Enggak ada tanda apa-apa, tau-tau ini penyakit nyamber. Hueh. Tiba-tiba gue ngerasa pusing, demam, meriang, pilek, batuk berdahak, dan jadi punya video Ariel-Luna. Oke, yang terakhir ga ada hubungannya.
Dan di minggu ga jelas ini (gue sebut minggu ga jelas, karena ini adalah minggu setelah UAS dimana murid-murid masih diharuskan datang ke sekolah meskipun enggak jelas maksud dan tujuannya apa. Well, you've been there done that.) gue memutuskan untuk tinggal di rumah (enggak, gue bukan sebelomnya tinggal di atas pohon atau apa). Hanya tidur-tiduran di kasur sambil sesekali bangun untuk makan
Ga makna banget sih hidup lo, Bob. Hahhh... *desahan putus asa*
*
Di post kali ini, gue akan membahas tentang lalu lintas di Jakarta. Kenapa? Karena di saat belakangan gue sering naik sepeda ke sekolah, otomatis gue harus menghadapinya setiap pagi dan sore saat berangkat dan pulang. Dan gue yang dulunya selalu dianter bokap naik motor ini tiba-tiba jadi sadar bagaimana lalu lintas di Jakarta itu. Maklum, anak rumahan.
Lalu lintas di Jakarta semrawut dengan mobil dan motor. Pantes aja Jakarta panas, emisi karbon dioksida-nya udah sangat membeludak. *efek pasca-ujian*
Tapi ada satu hal yang ngebuat gue males terjun ke jalanan Jakarta.
Kalau di sepak bola, seberapapun kuatnya lawan, lo masih punya rekan setim yang ngebantu lo untuk mencapai kemenangan. Kalau di sekolah, seberapapun sulitnya ulangan, lo masih punya temen yang bisa dicontekin. Tapi di jalanan, semua berbeda.
Roads are war fields. Tampaknya semua orang berkonspirasi untuk memusuhi satu sama lain (itu namanya bukan konspirasi ya). Hanya ada sedikit banget toleransi sosial di jalan, semua terkalahkan oleh kepentingan individual untuk menuju tujuannya masing-masing. Dan demi tujuan itu, manusia bisa kehilangan mannernya.
Sebagai contoh, kalau tiba-tiba di jalan satu jalur ada truk yang mogok, mobil-mobil dibelakangnya akan 'menyanyikan' klakson nyaring yang bernada kesal. Mereka tidak peduli masalah apa yang menimpa truk dan supir truk, hanya peduli dengan waktu mereka yang terbuang sia-sia. Mereka melampiaskannya dengan memaki-maki dari dalam mobil. Cring, dosa nambah.
Belum lagi kalau ada yang melanggar rambu-rambu, khususnya lampu lalu lintas. Bagi sebagian orang, merah dan hijau adalah hijau. Yang melanggar tak tahu malu menancap gas, dan yang dilanggar, kendaraan yang dilalui jalurnya oleh si pelanggar, membunyikan klakson. Memaki lagi. Nambah dosa lagi.
Jujur, gue enggak akan turun ke jalanan kalau saja jalanan bukan jalan satu-satunya untuk pergi ke tempat yang dituju. Tapi sayangnya, itulah kenyataannya. Walhasil gue harus berhadapan dengan 'musuh-musuh' itu setiap hari. Apalagi gue naik sepeda, mereka naik mobil dan motor. Kalau sampai tabrakan, mereka bayar reparasi, nah gue bayar pemakaman.
Seandainya gue bisa terbang, atau setidaknya seandainya cheat jetpack dari game Grand Theft Auto berlaku di hidup gue, gue pasti udah menggunakannya. Tapi nanti bikin polusi lagi. Haduh, hidup ini susah.
Jadi saran gue,
jangan nyimpen video Ariel-Luna. Entar kena razia loh.
Thursday, May 27, 2010
Between Science And Social
Sebagaimana kita tau, umumnya di SMA ada dua jurusan, yaitu IPS dan IPA. IPS yang menyajikan Geografi, Sosiologi, dan Ekonomi, dan IPA yang mengujungtombakkan Biologi, Kimia, dan Fisika.
Yah, that's theoritically. Kenyataannya, banyak yang memilih jurusan bukan karena alasan pelajarannya, melainkan karena faktor-faktor X yang berada di dalam dirinya.
Sebagai contoh, kebanyakan masyarakat IPS terbagi atas tiga jenis, yaitu:
1. Para 'pelarian' dari eksakta. Ya, banyak orang yang memilih IPS karena mereka enggak mau 'ketemu' dengan Fisika, Kimia, dan Matematika IPA yang identik dengan hitung-hitungan.
2. Murid-murid 'buangan'. Bukan maksud menyinggung, tapi memang kenyataannya murid yang naik kelas dengan nilai pas-pasan atau bersyarat, seringkali dimasukkan oleh sekolah ke jurusan IPS.
3. Orang-orang yang ingin belajar Geografi, Sosiologi, dan Ekonomi. Menurut lo, jumlahnya banyak atau sedikit?
Begitu juga dengan yang masuk jurusan IPA. Sebagian besar adalah orang-orang yang merasa keren bila menyandang titel IPA di punggungnya (atau dadanya? Ah, you got the point). Padahal nantinya, bila mereka ternyata tidak berminat di pelajaran-pelajaran IPA, mereka akan susah sendiri.
Let's see it this way: kalo IPS terus-terusan--seperti yang gue bilang tadi--dijadikan kelas 'buangan', kapan Indonesia akan punya ahli-ahli Geografi dan Sosiologi? Karena yang belajar di jurusan IPS nantinya hanyalah orang-orang dengan anggapan 'Yang Penting Lulus' di otak mereka, enggak peduli ilmunya apa.
Jujur, gue mau masuk IPA. Dan menurut gue, itu rasional; karena nantinya gue ingin melanjutkan ke Teknik Informatika, dan itu butuh dukungan dari ilmu-ilmu di jurusan IPA. Artinya, gue menganggap pilihan gue bertujuan konkrit yang rasional dan positif, yaitu sebagai penunjang masa depan.
Kenapa jarang sekali gue nemuin orang yang memang sengaja masuk IPS karena ia bercita-cita bekerja di BMG, atau ingin berkuliah jurusan Geodesi dan sebagainya, tetapi kebanyakan karena tidak ingin mendapatkan Fisika. Melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu dan melakukan sesuatu untuk tidak mendapatkan sesuatu, gue pikir jelas mana yang lebih efektif.
*
Waktu itu, pas upacara, kepsek gue pernah ngomong, "Seleksi masuk jurusan IPA akan diperketat, makanya jangan main-main."
Pemilihan kalimat yang diskriminatif, sebetulnya. Kenapa hanya IPA? Apa dengan begitu, orang yang ingin masuk IPS boleh main-main? Kenapa enggak seleksi naik kelas yang diperketat, tanpa melihat IPA atau IPS? Karena dengan begitu, semua siswa tidak akan 'main-main' supaya bisa naik kelas.
Jadi kalo menurut gue, sekolah harusnya mengadakan sosialisasi jurusan. Dikenalkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada bila mereka lulus dari jurusan itu nantinya. Ke mana meneruskan kuliah, bidang apa yang mungkin dimasuki, semata agar siswa termotivasi untuk mencapai cita-citanya. Supaya yang nantinya masuk jurusan IPS dan IPA adalah orang-orang yang benar-benar ingin belajar IPS dan IPA. Bukan untuk melarikan diri dari sesuatu.
Yah, that's theoritically. Kenyataannya, banyak yang memilih jurusan bukan karena alasan pelajarannya, melainkan karena faktor-faktor X yang berada di dalam dirinya.
Sebagai contoh, kebanyakan masyarakat IPS terbagi atas tiga jenis, yaitu:
1. Para 'pelarian' dari eksakta. Ya, banyak orang yang memilih IPS karena mereka enggak mau 'ketemu' dengan Fisika, Kimia, dan Matematika IPA yang identik dengan hitung-hitungan.
2. Murid-murid 'buangan'. Bukan maksud menyinggung, tapi memang kenyataannya murid yang naik kelas dengan nilai pas-pasan atau bersyarat, seringkali dimasukkan oleh sekolah ke jurusan IPS.
3. Orang-orang yang ingin belajar Geografi, Sosiologi, dan Ekonomi. Menurut lo, jumlahnya banyak atau sedikit?
Begitu juga dengan yang masuk jurusan IPA. Sebagian besar adalah orang-orang yang merasa keren bila menyandang titel IPA di punggungnya (atau dadanya? Ah, you got the point). Padahal nantinya, bila mereka ternyata tidak berminat di pelajaran-pelajaran IPA, mereka akan susah sendiri.
Let's see it this way: kalo IPS terus-terusan--seperti yang gue bilang tadi--dijadikan kelas 'buangan', kapan Indonesia akan punya ahli-ahli Geografi dan Sosiologi? Karena yang belajar di jurusan IPS nantinya hanyalah orang-orang dengan anggapan 'Yang Penting Lulus' di otak mereka, enggak peduli ilmunya apa.
Jujur, gue mau masuk IPA. Dan menurut gue, itu rasional; karena nantinya gue ingin melanjutkan ke Teknik Informatika, dan itu butuh dukungan dari ilmu-ilmu di jurusan IPA. Artinya, gue menganggap pilihan gue bertujuan konkrit yang rasional dan positif, yaitu sebagai penunjang masa depan.
Kenapa jarang sekali gue nemuin orang yang memang sengaja masuk IPS karena ia bercita-cita bekerja di BMG, atau ingin berkuliah jurusan Geodesi dan sebagainya, tetapi kebanyakan karena tidak ingin mendapatkan Fisika. Melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu dan melakukan sesuatu untuk tidak mendapatkan sesuatu, gue pikir jelas mana yang lebih efektif.
*
Waktu itu, pas upacara, kepsek gue pernah ngomong, "Seleksi masuk jurusan IPA akan diperketat, makanya jangan main-main."
Pemilihan kalimat yang diskriminatif, sebetulnya. Kenapa hanya IPA? Apa dengan begitu, orang yang ingin masuk IPS boleh main-main? Kenapa enggak seleksi naik kelas yang diperketat, tanpa melihat IPA atau IPS? Karena dengan begitu, semua siswa tidak akan 'main-main' supaya bisa naik kelas.
Jadi kalo menurut gue, sekolah harusnya mengadakan sosialisasi jurusan. Dikenalkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada bila mereka lulus dari jurusan itu nantinya. Ke mana meneruskan kuliah, bidang apa yang mungkin dimasuki, semata agar siswa termotivasi untuk mencapai cita-citanya. Supaya yang nantinya masuk jurusan IPS dan IPA adalah orang-orang yang benar-benar ingin belajar IPS dan IPA. Bukan untuk melarikan diri dari sesuatu.
Thursday, May 20, 2010
An Unexpected Advice
Gue lagi ada di angkot dalam perjalanan pulang ketika seorang laki-laki tua masuk ke dalam angkot itu.
Seandainya laki-laki itu biasa saja, pasti gue juga udah enggak terlalu memperhatikan. Tapi penampilannya yang membawa gitar, usia sekitar empat-puluhan, memakai kacamata, rambut acak-acakan, kemeja lusuh dan celana jeans membuatnya tampak unik, kayak seniman jalanan. Ketika naik, ia berkata, "Oke, mas! numpang ya."
Kemudian angkot jalan lagi.
Gue udah mulai lupa tentang si pria bergitar itu saat tiba-tiba pundak gue dipegang. Ketika gue nengok, ternyata yang megang adalah si laki-laki itu!
Gue mulai was-was. Dia megang pundak gue dan ngeliatin gue selama beberapa detik. Pikiran gue mulai negatif.
Mungkin dia penghipnotis.
Mungkin gue mau disodomi dan dimutilasi.
Mungkin gitarnya sebenarnya adalah bazooka dan akan digunakan untuk nodong gue.
Mungkin gue akan diajak nonton konser Kangen Band. Itu yang paling buruk.
Laki-laki itu membuka mulut. Gue takut akan ada ular keluar dari sana, ternyata enggak.
"Kelas berapa?" dia bertanya.
"Satu, pak," diriku menjawab.
"SMA?"
"Iya."
Kata orang, mata adalah cerminan paling jelas sifat seseorang. Dan saat itu gue ngeliat matanya, yang entah gimana ternyata terlihat begitu bersahabat. Kayaknya ga mungkin dia orang jahat, pikir gue.
"Tuntut ilmu yang bener, ya. Jangan ikut tawur-tawuran. Tawuran begitu, hanya bikin repot. Kalau luka atau meninggal, orang tua juga yang kena batunya. Belajar yang rajin, supaya jadi orang sukses nantinya."
Gue yang baru sadar kalo lagi dinasehatin, hanya bisa ngejawab, "Iya."
Enggak lama setelah kuliah singkat itu, sang seniman turun dan berkata, "Terima kasih tumpangannya, mas," dan melayangkan senyum kepada sang supir. Ketika dia berjalan pergi dan angkot melaju lagi, ada dua hal yang terpikir di kepala gue.
Yang pertama,
gue ingin jadi seniman. Biar bisa naik angkot gratis seperti tadi.
Yang kedua,
ternyata masih ada orang yang peduli terhadap pendidikan negeri ini. Walaupun ia hanya seorang seniman jalanan atau apa, ia juga prihatin terhadap kondisi pelajar Indonesia dan maraknya tawuran pelajar dewasa ini.
Pak Gitar (yang saya tak tahu namanya), saya berjanji akan terus belajar dengan baik, supaya bisa meneruskan perjuangan negeri ini. Dan saya juga berjanji, sampai kapan pun, untuk tidak akan pernah ikut tawuran. Apalagi arisan.
Oh, itu beda ya.
Seandainya laki-laki itu biasa saja, pasti gue juga udah enggak terlalu memperhatikan. Tapi penampilannya yang membawa gitar, usia sekitar empat-puluhan, memakai kacamata, rambut acak-acakan, kemeja lusuh dan celana jeans membuatnya tampak unik, kayak seniman jalanan. Ketika naik, ia berkata, "Oke, mas! numpang ya."
Kemudian angkot jalan lagi.
Gue udah mulai lupa tentang si pria bergitar itu saat tiba-tiba pundak gue dipegang. Ketika gue nengok, ternyata yang megang adalah si laki-laki itu!
Gue mulai was-was. Dia megang pundak gue dan ngeliatin gue selama beberapa detik. Pikiran gue mulai negatif.
Mungkin dia penghipnotis.
Mungkin gue mau disodomi dan dimutilasi.
Mungkin gitarnya sebenarnya adalah bazooka dan akan digunakan untuk nodong gue.
Mungkin gue akan diajak nonton konser Kangen Band. Itu yang paling buruk.
Laki-laki itu membuka mulut. Gue takut akan ada ular keluar dari sana, ternyata enggak.
"Kelas berapa?" dia bertanya.
"Satu, pak," diriku menjawab.
"SMA?"
"Iya."
Kata orang, mata adalah cerminan paling jelas sifat seseorang. Dan saat itu gue ngeliat matanya, yang entah gimana ternyata terlihat begitu bersahabat. Kayaknya ga mungkin dia orang jahat, pikir gue.
"Tuntut ilmu yang bener, ya. Jangan ikut tawur-tawuran. Tawuran begitu, hanya bikin repot. Kalau luka atau meninggal, orang tua juga yang kena batunya. Belajar yang rajin, supaya jadi orang sukses nantinya."
Gue yang baru sadar kalo lagi dinasehatin, hanya bisa ngejawab, "Iya."
Enggak lama setelah kuliah singkat itu, sang seniman turun dan berkata, "Terima kasih tumpangannya, mas," dan melayangkan senyum kepada sang supir. Ketika dia berjalan pergi dan angkot melaju lagi, ada dua hal yang terpikir di kepala gue.
Yang pertama,
gue ingin jadi seniman. Biar bisa naik angkot gratis seperti tadi.
Yang kedua,
ternyata masih ada orang yang peduli terhadap pendidikan negeri ini. Walaupun ia hanya seorang seniman jalanan atau apa, ia juga prihatin terhadap kondisi pelajar Indonesia dan maraknya tawuran pelajar dewasa ini.
Pak Gitar (yang saya tak tahu namanya), saya berjanji akan terus belajar dengan baik, supaya bisa meneruskan perjuangan negeri ini. Dan saya juga berjanji, sampai kapan pun, untuk tidak akan pernah ikut tawuran. Apalagi arisan.
Oh, itu beda ya.
Thursday, May 13, 2010
We've Got A Planet To Save!
Halo.
Sebenernya mood gue hari ini agak setengah-setengah (hampir setengah-setengah, tapi setengah setengah-setengah, err...), dan dua faktor penyebabnya adalah cuaca yang aneh belakangan ini serta tangan gue yang keseleo saat main futsal pagi tadi. Akhirnya hati gue gundah gulana. Resah gelisah. Enggak enak deh pokoknya. Untungnya yang keseleo tangan kiri, jadi gue masih bisa nulis. Meskipun gue bingung gimana cara gue cebok nantinya.
Ehem.
Tapiiiii... atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan permintaan rekan saya Dana untuk meng-update blog saya ini, jadilah post ini saya tulis dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Yosh.
Terima kasih untuk Dana karena telah menjadi pembaca setia blog ini. Lo enggak gue sogok kan? Enggak kan? Bilang aja enggak, nanti gue tambahin sepuluh ribu deh.
*
Speaking of cuaca, emang cuaca di Jakarta sekarang-sekarang ini nggak jelas ya? Seharusnya mulai April kemaren udah masuk musim kemarau, tapi nyatanya, kayak hari ini, ujan deres. Padahal paginya panas sepanas-panasnya panas, kalo kata Jason Mraz: "You're so hot that I'm melting."
Usut punya usut, ternyata ini adalah salah satu efek global warming atawa pemanasan global. Emang saking seringnya diomongin, jadi terkesan overrated dan klise. Tapi, itulah yang terjadi.
Minggu kemaren, di pelajaran Kimia, gue beserta kelompok yang ditugaskan membuat sebuah poster membuat satu tentang pemanasan global. Dan jreng-jreng, inilah poster kami:
Di kelas itu, gue dan kawan-kawan ditugaskan mempresentasikan poster itu. Akhirnya jadilah sebuah ajang diskusi juga dengan Pak Iman, guru Kimia gue, tentang pemanasan global.
Kenapa jalanan di Jakarta panas banget? Jawabannya ada tiga.
Yang pertama, adalah karena banyaknya kendaraan bermotor.
Sebenernya kalo gue bilang, kendaraan bermotor emang adalah pemberi kontribusi paling besar atas hal ini. Alasannya juga banyak: mesin mobil mengeluarkan panas. Bayangin kalo setiap hari jalanan Jakarta dilalui ribuan mobil dengan mesin panas, maka pasti panas itu ter-radiasi ke sekitarnya.
Hasil pembakaran bahan bakar juga. Pembakaran yang enggak sempurna menghasilkan gas CO (carbon monoxyde) yang massa jenisnya lebih rendah daripada udara, sehingga gas itu terus naik ke atas. Terima kasih untuk CO, lapisan ozon kita jadi berlubang-lubang. CO juga bersifat racun bagi tubuh manusia.
Sedangkan pembakaran yang sempurna menghasilkan gas CO2 (carbon dioxyde). Yang satu ini massa jenisnya lebih besar, sehingga CO2 enggak melayang, melainkan tetap di permukaan bumi. CO2 inilah yang ngebuat udara panas.
Yang kedua, adalah penggunaan AC di gedung-gedung dan rumah-rumah.
Seperti yang kita tahu, freon dari AC juga berperan dalam merusak lapisan ozon. Tapi bukan cuma itu. Pemakaian AC di dalam ruangan yang notabene diatur dingin banget (antara 16 - 20 derajat celcius) juga bikin panas. Kenapa? Udara panas yang ada di dalam ruangan dialirkan keluar, bayangin aja; di luar udah panas, eh ditambah panas lagi.
Karena berada di ruangan yang dingin, otomatis tubuh manusia akan menyesuaikan dengan kondisi sekitarnya. Karena udah beradaptasi dengan udara dalam ruangan, begitu keluar -- DUAR. Panas menyengat luar biasa, dan panas yang dirasain oleh orang yang baru dari ruangan dingin akan terasa lebih beberapa kali lipat.
Dan yang ketiga, adalah kurangnya yang hijau-hijau.
Bukan, bukan tahi ayam. Bukan juga upil. Upil udah begitu berlebih; bermilyar-milyar manusia di bumi, dengan masing-masing punya dua lubang hidung, gue heran bumi belom tertutup olehnya. Bukan, hijau yang gue maksud adalah tumbuhan.
Yep, teman-teman dari Kingdom Plantae itulah yang harusnya mengurangi kadar CO2 di udara. Tetapi yang terjadi adalah hutan ditebang dimana-mana. Alhasil, CO2 tetap merajalela. Panas, ya?
*
Oleh karena tersentuh dengan sesi diskusi tersebut (dan sebagai pertanggungjawaban sebagai orang yang mempresentasikannya), gue jadi pengen berperan untuk mengurangi pengrusakan bumi ini. Mulai dari yang paling gampang: naik sepeda.
Sejak acara Fun Bike sekolah beberapa waktu lalu, gue telah membetulkan sepeda Federal tua gue. Dan akhir-akhir ini, gue udah mulai sering ke sekolah naik sepeda. Asyik ternyata, mengayuh pelan-pelan di kesunyian jalanan pagi hari, ditemani mentari yang masih mengintip dibalik tidurnya, serta semilir sejuk angin yang menerpa setiap senti kulitku... satu kalimat lagi dan gue akan jadi penerus Chairil Anwar.
Anyhow, kata seorang guru olahraga gue, katanya bila situasi memungkinkan, tahun ajaran depan sekolah gue akan membuat komunitas sepeda. Fun, is it not? Sehat sekaligus menyelamatkan lingkungan.
*
Udah ah, gue akhiri post ini sampai sini aja. Karena mungkin kalo lebih panjang lagi, gue bisa kepilih jadi duta penyelamatan lingkungan UNICEF atau apa. Akhir kata, mengutip kata-kata dari film Chicken Little:
"Come on, Dad! We've got a planet to save!"
Sebenernya mood gue hari ini agak setengah-setengah (hampir setengah-setengah, tapi setengah setengah-setengah, err...), dan dua faktor penyebabnya adalah cuaca yang aneh belakangan ini serta tangan gue yang keseleo saat main futsal pagi tadi. Akhirnya hati gue gundah gulana. Resah gelisah. Enggak enak deh pokoknya. Untungnya yang keseleo tangan kiri, jadi gue masih bisa nulis. Meskipun gue bingung gimana cara gue cebok nantinya.
Ehem.
Tapiiiii... atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan permintaan rekan saya Dana untuk meng-update blog saya ini, jadilah post ini saya tulis dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Yosh.
Terima kasih untuk Dana karena telah menjadi pembaca setia blog ini. Lo enggak gue sogok kan? Enggak kan? Bilang aja enggak, nanti gue tambahin sepuluh ribu deh.
*
Speaking of cuaca, emang cuaca di Jakarta sekarang-sekarang ini nggak jelas ya? Seharusnya mulai April kemaren udah masuk musim kemarau, tapi nyatanya, kayak hari ini, ujan deres. Padahal paginya panas sepanas-panasnya panas, kalo kata Jason Mraz: "You're so hot that I'm melting."
Usut punya usut, ternyata ini adalah salah satu efek global warming atawa pemanasan global. Emang saking seringnya diomongin, jadi terkesan overrated dan klise. Tapi, itulah yang terjadi.
Minggu kemaren, di pelajaran Kimia, gue beserta kelompok yang ditugaskan membuat sebuah poster membuat satu tentang pemanasan global. Dan jreng-jreng, inilah poster kami:
Di kelas itu, gue dan kawan-kawan ditugaskan mempresentasikan poster itu. Akhirnya jadilah sebuah ajang diskusi juga dengan Pak Iman, guru Kimia gue, tentang pemanasan global.
Kenapa jalanan di Jakarta panas banget? Jawabannya ada tiga.
Yang pertama, adalah karena banyaknya kendaraan bermotor.
Sebenernya kalo gue bilang, kendaraan bermotor emang adalah pemberi kontribusi paling besar atas hal ini. Alasannya juga banyak: mesin mobil mengeluarkan panas. Bayangin kalo setiap hari jalanan Jakarta dilalui ribuan mobil dengan mesin panas, maka pasti panas itu ter-radiasi ke sekitarnya.
Hasil pembakaran bahan bakar juga. Pembakaran yang enggak sempurna menghasilkan gas CO (carbon monoxyde) yang massa jenisnya lebih rendah daripada udara, sehingga gas itu terus naik ke atas. Terima kasih untuk CO, lapisan ozon kita jadi berlubang-lubang. CO juga bersifat racun bagi tubuh manusia.
Sedangkan pembakaran yang sempurna menghasilkan gas CO2 (carbon dioxyde). Yang satu ini massa jenisnya lebih besar, sehingga CO2 enggak melayang, melainkan tetap di permukaan bumi. CO2 inilah yang ngebuat udara panas.
Yang kedua, adalah penggunaan AC di gedung-gedung dan rumah-rumah.
Seperti yang kita tahu, freon dari AC juga berperan dalam merusak lapisan ozon. Tapi bukan cuma itu. Pemakaian AC di dalam ruangan yang notabene diatur dingin banget (antara 16 - 20 derajat celcius) juga bikin panas. Kenapa? Udara panas yang ada di dalam ruangan dialirkan keluar, bayangin aja; di luar udah panas, eh ditambah panas lagi.
Karena berada di ruangan yang dingin, otomatis tubuh manusia akan menyesuaikan dengan kondisi sekitarnya. Karena udah beradaptasi dengan udara dalam ruangan, begitu keluar -- DUAR. Panas menyengat luar biasa, dan panas yang dirasain oleh orang yang baru dari ruangan dingin akan terasa lebih beberapa kali lipat.
Dan yang ketiga, adalah kurangnya yang hijau-hijau.
Bukan, bukan tahi ayam. Bukan juga upil. Upil udah begitu berlebih; bermilyar-milyar manusia di bumi, dengan masing-masing punya dua lubang hidung, gue heran bumi belom tertutup olehnya. Bukan, hijau yang gue maksud adalah tumbuhan.
Yep, teman-teman dari Kingdom Plantae itulah yang harusnya mengurangi kadar CO2 di udara. Tetapi yang terjadi adalah hutan ditebang dimana-mana. Alhasil, CO2 tetap merajalela. Panas, ya?
*
Oleh karena tersentuh dengan sesi diskusi tersebut (dan sebagai pertanggungjawaban sebagai orang yang mempresentasikannya), gue jadi pengen berperan untuk mengurangi pengrusakan bumi ini. Mulai dari yang paling gampang: naik sepeda.
Sejak acara Fun Bike sekolah beberapa waktu lalu, gue telah membetulkan sepeda Federal tua gue. Dan akhir-akhir ini, gue udah mulai sering ke sekolah naik sepeda. Asyik ternyata, mengayuh pelan-pelan di kesunyian jalanan pagi hari, ditemani mentari yang masih mengintip dibalik tidurnya, serta semilir sejuk angin yang menerpa setiap senti kulitku... satu kalimat lagi dan gue akan jadi penerus Chairil Anwar.
Anyhow, kata seorang guru olahraga gue, katanya bila situasi memungkinkan, tahun ajaran depan sekolah gue akan membuat komunitas sepeda. Fun, is it not? Sehat sekaligus menyelamatkan lingkungan.
*
Udah ah, gue akhiri post ini sampai sini aja. Karena mungkin kalo lebih panjang lagi, gue bisa kepilih jadi duta penyelamatan lingkungan UNICEF atau apa. Akhir kata, mengutip kata-kata dari film Chicken Little:
"Come on, Dad! We've got a planet to save!"
Thursday, April 22, 2010
Bunga, Bulan, Phoenix, dan Matahari
Suatu hari, pria dan wanita bertemu. Mereka bicara tentang cinta dan harapan.
Sang wanita bertanya, "Kalau aku jadi bunga, kau akan jadi apa?"
"Matahari," jawab sang pria.
Sang wanita heran. Kenapa pria tak ingin menjadi kupu-kupu atau kumbang, yang bisa senantiasa menemaninya hingga akhir waktu?
Ia bertanya lagi, "Kalau aku jadi bulan, kau akan jadi apa?"
"Matahari," jawab pria lagi.
Kedua kalinya sang wanita heran. Kenapa pria ingin menjadi matahari, padahal ia tahu bulan dan matahari tak pernah bertemu?
Sekali lagi, wanita bertanya, "Kalau aku jadi phoenix, kau akan jadi apa?"
"Matahari," pria itu menjawab untuk ketiga kalinya.
Wanita itu kesal. Ia sudah tiga kali berubah, yang terakhir menjadi phoenix yang bisa terbang tinggi melewati matahari, tapi pria tetap saja ingin menjadi matahari. Tanpa berusaha menanyakan alasannya, wanita itu melangkah pergi. Sang pria memandangi kepergiannya dengan sedih.
*
Sebenarnya, kalau saja wanita tinggal lebih lama untuk mendengarkan penjelasannya, mungkin ia akan berubah pikiran.
Alasan kenapa pria memilih menjadi matahari ketika wanita menjadi bunga, karena matahari memberi kehidupan kepada bunga. Tidak sekadar menemani. Membiarkan kecantikan bunga itu tetap abadi tanpa mengharap apapun sebagai bayaran. Pemberian tanpa pamrih, itu alasan pertama.
Alasan kenapa pria juga memilih menjadi matahari ketika wanita menjadi bulan, adalah agar bulan bisa tetap bersinar. Karena sinar bulan merupakan pantulan dari sinar matahari, dan matahari tetap setia memberikan sinarnya meskipun malam tiba, agar manusia bisa mengagumi keindahan bulan, walaupun dirinya terlupakan. Kesetiaan, adalah alasan kedua.
Alasan kenapa pria lagi-lagi memilih menjadi matahari ketika wanita menjadi phoenix yang bisa terbang jauh hingga di atas matahari, adalah agar sang wanita bisa pergi kapan saja, tanpa dirinya untuk menghalang-halangi. Sang phoenix bisa terbang kemana saja, sementara matahari menunggunya dengan cinta yang membara di dalamnya. Ia menjadi matahari yang diam, karena bila sang phoenix ingin kembali, ia akan ada di sana, tak kemana-mana. Lapang dada, itu alasan yang terakhir.
Tapi apa daya, sekarang sang bunga, sang bulan, dan sang phoenix telah pergi. Tinggal ada pria, sendirian bersama matahari di atas sana, dengan cinta yang membara di dalam hati.
==========
Sebenernya ini bukan cerita yang gue buat. Gue denger cerita ini pagi tadi di radio yang gue lupa apa namanya.
Dari cerita ini, kita bisa lihat bahwa niat baik tak selamanya menuai hasil baik. Terlihat dari tindakan sang wanita yang langsung pergi sebelum sang pria sempat menjelaskan maksudnya. Dan, well... gue ngerasa cerita ini sangat besar maknanya. Bagaimana sang wanita dengan kesal pergi ketika sang pria tak menjawab sesuai dengan keinginannya.
Karena cinta begitu rumit, begitu kompleks. Seperti kata Einstein, semua sangat relatif. Tak ada sesuatu pun di dunia ini yang pasti. Seperti bagaimana semua orang di hidup kita datang dan pergi begitu saja. Dan pada akhirnya, hanya akan ada kita dan ketidakpastian itu sendiri.
Tapi gue senang dengan ketidakpastian itu. Karena, dengan tak ada apapun yang pasti, semua akan menjadi kejutan. Dan gue selalu berharap, kejutan yang akan gue dapat adalah kejutan yang menyenangkan.
Sang wanita bertanya, "Kalau aku jadi bunga, kau akan jadi apa?"
"Matahari," jawab sang pria.
Sang wanita heran. Kenapa pria tak ingin menjadi kupu-kupu atau kumbang, yang bisa senantiasa menemaninya hingga akhir waktu?
Ia bertanya lagi, "Kalau aku jadi bulan, kau akan jadi apa?"
"Matahari," jawab pria lagi.
Kedua kalinya sang wanita heran. Kenapa pria ingin menjadi matahari, padahal ia tahu bulan dan matahari tak pernah bertemu?
Sekali lagi, wanita bertanya, "Kalau aku jadi phoenix, kau akan jadi apa?"
"Matahari," pria itu menjawab untuk ketiga kalinya.
Wanita itu kesal. Ia sudah tiga kali berubah, yang terakhir menjadi phoenix yang bisa terbang tinggi melewati matahari, tapi pria tetap saja ingin menjadi matahari. Tanpa berusaha menanyakan alasannya, wanita itu melangkah pergi. Sang pria memandangi kepergiannya dengan sedih.
*
Sebenarnya, kalau saja wanita tinggal lebih lama untuk mendengarkan penjelasannya, mungkin ia akan berubah pikiran.
Alasan kenapa pria memilih menjadi matahari ketika wanita menjadi bunga, karena matahari memberi kehidupan kepada bunga. Tidak sekadar menemani. Membiarkan kecantikan bunga itu tetap abadi tanpa mengharap apapun sebagai bayaran. Pemberian tanpa pamrih, itu alasan pertama.
Alasan kenapa pria juga memilih menjadi matahari ketika wanita menjadi bulan, adalah agar bulan bisa tetap bersinar. Karena sinar bulan merupakan pantulan dari sinar matahari, dan matahari tetap setia memberikan sinarnya meskipun malam tiba, agar manusia bisa mengagumi keindahan bulan, walaupun dirinya terlupakan. Kesetiaan, adalah alasan kedua.
Alasan kenapa pria lagi-lagi memilih menjadi matahari ketika wanita menjadi phoenix yang bisa terbang jauh hingga di atas matahari, adalah agar sang wanita bisa pergi kapan saja, tanpa dirinya untuk menghalang-halangi. Sang phoenix bisa terbang kemana saja, sementara matahari menunggunya dengan cinta yang membara di dalamnya. Ia menjadi matahari yang diam, karena bila sang phoenix ingin kembali, ia akan ada di sana, tak kemana-mana. Lapang dada, itu alasan yang terakhir.
Tapi apa daya, sekarang sang bunga, sang bulan, dan sang phoenix telah pergi. Tinggal ada pria, sendirian bersama matahari di atas sana, dengan cinta yang membara di dalam hati.
==========
Sebenernya ini bukan cerita yang gue buat. Gue denger cerita ini pagi tadi di radio yang gue lupa apa namanya.
Dari cerita ini, kita bisa lihat bahwa niat baik tak selamanya menuai hasil baik. Terlihat dari tindakan sang wanita yang langsung pergi sebelum sang pria sempat menjelaskan maksudnya. Dan, well... gue ngerasa cerita ini sangat besar maknanya. Bagaimana sang wanita dengan kesal pergi ketika sang pria tak menjawab sesuai dengan keinginannya.
Karena cinta begitu rumit, begitu kompleks. Seperti kata Einstein, semua sangat relatif. Tak ada sesuatu pun di dunia ini yang pasti. Seperti bagaimana semua orang di hidup kita datang dan pergi begitu saja. Dan pada akhirnya, hanya akan ada kita dan ketidakpastian itu sendiri.
Tapi gue senang dengan ketidakpastian itu. Karena, dengan tak ada apapun yang pasti, semua akan menjadi kejutan. Dan gue selalu berharap, kejutan yang akan gue dapat adalah kejutan yang menyenangkan.
Friday, April 02, 2010
Kotak Kecil Bernama 'Imajinasi'
Banyak orang bilang, buku adalah jendela dunia. Bagi gue, buku adalah dunia itu sendiri.
Selama hidup gue yang bentar lagi udah enam belas tahun ini, mungkin udah ribuan buku yang pernah gue baca. Mulai dari novel, buku pelajaran, buku dongeng, sampe buku resep masakan. Dan menurut gue, semua buku punya nyawanya sendiri-sendiri. Semua buku bisa ngebawa pembacanya masuk ke dunia di dalam buku itu. Karena semua buku pasti ditulis untuk sebuah tujuan. Tujuan yang berbeda-beda.
Gue sendiri adalah penggemar novel, dan tipe novel kesukaan gue ada dua. Yang satu adalah novel kehidupan yang ringan, ga banyak mikirnya. Kedua, adalah novel-novel fantasi yang bisa ngajak gue berkelana di dunia yang ditata sedemikian rupa oleh penulisnya.
Tapi dari kedua tipe novel itu, harus ada satu unsur penting di dalamnya. Sesuatu yang bisa ngebuat emosi gue turun naik, rapid frequency dari fluktuasi senang, sedih, haru, marah, atau dengan kata lain dapat membuat gue menghayati semua kata dalam setiap kalimat di novel itu. Meresapi emosinya, memahami perasaan karakter-karakternya, dan menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sejauh ini, gue punya beberapa buku favorit. Nama-nama seperti To Kill A Mockingbird, Perahu Kertas, Anne Of Green Gables dan serialnya, Harry Potter, Charlie, Peter Pan, Brothers Grimm's Fairytale, dan lain-lain telah berperan dalam mengisi hidup gue selama ini. Setiap buku itu punya dunia yang berbeda, dimensi yang berbeda antara satu dan lainnya. Dimensi-dimensi yang seakan ga pernah ngebuat gue lelah untuk bolak-balik di antaranya.
Atau kalo ada saat-saat gue lagi pengen mikir, gue kadang beralih ke novel misteri atau genre berat lainnya. Kadang gue lari ke novel-novel Agatha Christie, Sir Conan Doyle, Enyd Blyton, Alfred Hitchcock, dan lain-lain.
Ya, sebuah buku bisa membawa gue keluar sejenak dari dunia bernama realitas menuju dunia yang sama sekali baru. Dunia yang penuh dengan emosi, ketegangan, sekaligus kesenangan dan romansa. Segala hal yang bisa menggugah satu kotak kecil di sudut otak gue yang bertuliskan 'imajinasi'.
*
Tapi sayangnya, gue hampir selalu dihadapkan dengan sebuah fakta menyakitkan.
Sebuah fakta yang selalu menghantui setiap kali gue ngebaca buku apapun. Itu adalah fakta bahwa nantinya, cepat atau lambat, cerita itu akan menemui sebuah akhir. Entah akhir menyenangkan, menyedihkan, atau akhir yang menggantung sama sekali. Entah kenapa, semua akhir terdengar menyedihkan buat gue.
Kadang gue bertanya, kenapa semua harus berakhir? Kenapa tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang abadi? Sebuah pertanyaan bodoh, memang. Pertanyaan bodoh yang di dalamnya terdapat sejuta harapan dan mimpi. Setidaknya menurut gue.
Gue pernah denger, mengakhiri cerita adalah bagian terberat bagi penulis dalam mengerjakan tulisannya. Mungkin saja ada jutaan kenangan selama si penulis menulis cerita itu. Meskipun begitu, orang-orang juga bilang bahwa buku yang bagus adalah buku yang endingnya bagus. I don't blame it, it's only that... ah, I don't know.
Nulis post ini ngebuat gue jadi sentimental. Udahan ah.
Selama hidup gue yang bentar lagi udah enam belas tahun ini, mungkin udah ribuan buku yang pernah gue baca. Mulai dari novel, buku pelajaran, buku dongeng, sampe buku resep masakan. Dan menurut gue, semua buku punya nyawanya sendiri-sendiri. Semua buku bisa ngebawa pembacanya masuk ke dunia di dalam buku itu. Karena semua buku pasti ditulis untuk sebuah tujuan. Tujuan yang berbeda-beda.
Gue sendiri adalah penggemar novel, dan tipe novel kesukaan gue ada dua. Yang satu adalah novel kehidupan yang ringan, ga banyak mikirnya. Kedua, adalah novel-novel fantasi yang bisa ngajak gue berkelana di dunia yang ditata sedemikian rupa oleh penulisnya.
Tapi dari kedua tipe novel itu, harus ada satu unsur penting di dalamnya. Sesuatu yang bisa ngebuat emosi gue turun naik, rapid frequency dari fluktuasi senang, sedih, haru, marah, atau dengan kata lain dapat membuat gue menghayati semua kata dalam setiap kalimat di novel itu. Meresapi emosinya, memahami perasaan karakter-karakternya, dan menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sejauh ini, gue punya beberapa buku favorit. Nama-nama seperti To Kill A Mockingbird, Perahu Kertas, Anne Of Green Gables dan serialnya, Harry Potter, Charlie, Peter Pan, Brothers Grimm's Fairytale, dan lain-lain telah berperan dalam mengisi hidup gue selama ini. Setiap buku itu punya dunia yang berbeda, dimensi yang berbeda antara satu dan lainnya. Dimensi-dimensi yang seakan ga pernah ngebuat gue lelah untuk bolak-balik di antaranya.
Atau kalo ada saat-saat gue lagi pengen mikir, gue kadang beralih ke novel misteri atau genre berat lainnya. Kadang gue lari ke novel-novel Agatha Christie, Sir Conan Doyle, Enyd Blyton, Alfred Hitchcock, dan lain-lain.
Ya, sebuah buku bisa membawa gue keluar sejenak dari dunia bernama realitas menuju dunia yang sama sekali baru. Dunia yang penuh dengan emosi, ketegangan, sekaligus kesenangan dan romansa. Segala hal yang bisa menggugah satu kotak kecil di sudut otak gue yang bertuliskan 'imajinasi'.
*
Tapi sayangnya, gue hampir selalu dihadapkan dengan sebuah fakta menyakitkan.
Sebuah fakta yang selalu menghantui setiap kali gue ngebaca buku apapun. Itu adalah fakta bahwa nantinya, cepat atau lambat, cerita itu akan menemui sebuah akhir. Entah akhir menyenangkan, menyedihkan, atau akhir yang menggantung sama sekali. Entah kenapa, semua akhir terdengar menyedihkan buat gue.
Kadang gue bertanya, kenapa semua harus berakhir? Kenapa tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang abadi? Sebuah pertanyaan bodoh, memang. Pertanyaan bodoh yang di dalamnya terdapat sejuta harapan dan mimpi. Setidaknya menurut gue.
Gue pernah denger, mengakhiri cerita adalah bagian terberat bagi penulis dalam mengerjakan tulisannya. Mungkin saja ada jutaan kenangan selama si penulis menulis cerita itu. Meskipun begitu, orang-orang juga bilang bahwa buku yang bagus adalah buku yang endingnya bagus. I don't blame it, it's only that... ah, I don't know.
Nulis post ini ngebuat gue jadi sentimental. Udahan ah.
Friday, March 26, 2010
Hey, I got a new PC!
Hey, back with with me again, mateys. 'Thas been a long time, is it not?
Maret udah hampir berakhir, terhitung tanggal 26 kalender Masehi dan tanggal 79302175 kalender Priambodiah. Oke, gue boong soal yang barusan. Ini baru tanggal 79302174.
Anyway, sepertinya kita berada di masa dimana saya sudah jarang ngeblog. Lagi. Entah berapa kali udah proses hiatus temporer ini terjadi semasa gue punya blog. Dan sayangnya bukan cuma blog doang; tulis-menulis gue lagi ngadat semua. Dari cerpen, puisi, lagu. Semuanya seakan terhenti oleh semacam invisible forcefield yang melebar di antara gue dan komputer gue. Ehem. Jadi, mungkin lebih tepat kalo gue bilang bulan ini adalah bulan gue vakum nulis.
Speaking of komputer, bokap gue baru beli seperangkat PC. Latar belakangnya adalah karena bokap gue yang fotografer itu ngeluh kalo kerja di komputer lama yang lelet bin bau tanah itu. Yah, komp, seperti yang gue tulis waktu itu, sepertinya sebentar lagi kita akan berpisah.
Kembali ke PC yang baru. Semua udah siap: hardware, software, OS, dll. Tampaknya semua sudah sempurna sebelum tiba-tiba nyokap bertanya:
'Ini mau dipasang dimana?'
Gue ama bokap berpandang-pandangan.
Nyokap ama bokap berpandang-pandangan.
Lalu mereka jatuh cinta pada pandangan pertama. Oke, ngawur.
Singkat cerita, persiapan matang itu mentah lagi ketika dihadapi kenyataan bahwa mejanya belom ada. Alhasil, karena mau langsung dipake kerja, terpaksa PC itu dipasang dengan megahnya di lantai deket ruang TV. Bokap akhirnya datang ke atas bersama rencana (terj. bebas: come up with a plan) bahwa seinget dia ada meja komputer di gudang. Tapi karena datang ke gudang merupakan tantangan tersendiri, jadilah rencana itu ditunda.
Komputernya oke--yah, setidaknya lebih cepat dari komputer biru putih siput yang bertengger di sana itu (no hard feelings, komp). Tapi kenyataan bahwa kita harus duduk di bawah saat menggunakannya sangat--well, menyebalkan.
For instance, saat ini gue lagi nulis posting ini di PC yang baru. Dan terhitung sejak gue mulai nulis, gue udah ganti posisi duduk lima kali. Pegel abesh. Oh Tuhan, seandainya lantai ini berubah menjadi tumpukan awan yang empuk nan nyaman yang ada Jessica Alba-nya...
Ehem.
Jadi bersama posting ini segenap hati saya memanjatkan doa supaya invisible forcefield itu dihilangkan, Tuhan. Tapi Jessica Alba-nya jangan. Uhuk.
Meskipun dengan segala penderitaan ini, everything goes along pretty well. Internet juga makin cepet, hueheheheh. *evil grin*
Ganti posisi lagi aah.
Maret udah hampir berakhir, terhitung tanggal 26 kalender Masehi dan tanggal 79302175 kalender Priambodiah. Oke, gue boong soal yang barusan. Ini baru tanggal 79302174.
Anyway, sepertinya kita berada di masa dimana saya sudah jarang ngeblog. Lagi. Entah berapa kali udah proses hiatus temporer ini terjadi semasa gue punya blog. Dan sayangnya bukan cuma blog doang; tulis-menulis gue lagi ngadat semua. Dari cerpen, puisi, lagu. Semuanya seakan terhenti oleh semacam invisible forcefield yang melebar di antara gue dan komputer gue. Ehem. Jadi, mungkin lebih tepat kalo gue bilang bulan ini adalah bulan gue vakum nulis.
Speaking of komputer, bokap gue baru beli seperangkat PC. Latar belakangnya adalah karena bokap gue yang fotografer itu ngeluh kalo kerja di komputer lama yang lelet bin bau tanah itu. Yah, komp, seperti yang gue tulis waktu itu, sepertinya sebentar lagi kita akan berpisah.
Kembali ke PC yang baru. Semua udah siap: hardware, software, OS, dll. Tampaknya semua sudah sempurna sebelum tiba-tiba nyokap bertanya:
'Ini mau dipasang dimana?'
Gue ama bokap berpandang-pandangan.
Nyokap ama bokap berpandang-pandangan.
Lalu mereka jatuh cinta pada pandangan pertama. Oke, ngawur.
Singkat cerita, persiapan matang itu mentah lagi ketika dihadapi kenyataan bahwa mejanya belom ada. Alhasil, karena mau langsung dipake kerja, terpaksa PC itu dipasang dengan megahnya di lantai deket ruang TV. Bokap akhirnya datang ke atas bersama rencana (terj. bebas: come up with a plan) bahwa seinget dia ada meja komputer di gudang. Tapi karena datang ke gudang merupakan tantangan tersendiri, jadilah rencana itu ditunda.
Komputernya oke--yah, setidaknya lebih cepat dari komputer biru putih siput yang bertengger di sana itu (no hard feelings, komp). Tapi kenyataan bahwa kita harus duduk di bawah saat menggunakannya sangat--well, menyebalkan.
For instance, saat ini gue lagi nulis posting ini di PC yang baru. Dan terhitung sejak gue mulai nulis, gue udah ganti posisi duduk lima kali. Pegel abesh. Oh Tuhan, seandainya lantai ini berubah menjadi tumpukan awan yang empuk nan nyaman yang ada Jessica Alba-nya...
Ehem.
Jadi bersama posting ini segenap hati saya memanjatkan doa supaya invisible forcefield itu dihilangkan, Tuhan. Tapi Jessica Alba-nya jangan. Uhuk.
Meskipun dengan segala penderitaan ini, everything goes along pretty well. Internet juga makin cepet, hueheheheh. *evil grin*
Ganti posisi lagi aah.
Saturday, March 06, 2010
Seniman Jalanan, Seorang Pejuang
Seperti biasa, terik matahari menyelimuti jalanan di Jakarta. Para pengguna jalan banjir keringat; kecuali orang-orang berjas dan berdasi di mobil-mobil mewah itu, yang tidak sedikitpun merasakan panasnya matahari yang berada tepat di atas kepala itu.
Ya, panas matahari menyinari semuanya, termasuk metro mini yang kunaiki.
Pipiku mengucurkan keringat—aku juga merasa bajuku mulai basah. Dalam hati, aku membayangkan betapa nikmatnya berada di rumah, nyaman dan tenteram. Tapi dalam kondisi basah oleh keringat seperti ini, bayangan itu pun tak mampu mengusir perasaan sebal terhadap panasnya hari.
Aku melihat sekeliling. Penumpang yang lainnya hampir sama sepertiku; berkeringat, menunjukkan wajah tak senang. Mungkin beberapa dari mereka berharap dapat cepat pulang ke rumah, atau mungkin sampai di tempat kerja yang sejuk, dan menyesalkan mengapa mereka harus berada di situasi yang tidak menyenangkan ini.
Metro mini ini berhenti di setiap halte; menurunkan atau menaikkan penumpang, tukang jualan, pengamen. Ketika metro mini sampai di satu halte, seorang laki-laki naik.
Laki-laki tersebut berkulit cokelat terbakar matahari, berumur sekitar dua puluh tahunan, mengenakan kaus lusuh berwarna hitam. Dengan rambut panjang dan janggut tipisnya, terlihat jelas bahwa ia tidak naik sebagai penumpang. Ia berdiri di dekat pintu sebelah depan.
"Selamat siang, bapak-bapak, ibu-ibu," mulai laki-laki itu. "Maaf mengganggu kenyamanan Anda, izinkan saya sejenak untuk melantunkan suatu goresan karya sastra, persembahan dari Chairil Anwar yang abadi di hati kami, para seniman jalanan. Semoga persembahan ini dapat menghibur Anda yang ada di sini dan dapat menorehkan sesuatu di hati."
Kemudian laki-laki itu mulai bernyanyi dengan suara seraknya:
Indonesia, tanah air beta
pusaka, abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
tetap dipuja-puja bangsa
Sebuah melodi yang menyayat hati; setidaknya bagi orang-orang yang peka, orang-orang yang peduli. Laki-laki itu melanjutkan 'pertunjukan'-nya dengan membaca sebuah puisi dari Chairil Anwar yang berjudul Do'a:
"Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
CahayaMu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintuMu aku mengetuk
Aku tak bisa berpaling."
Dan laki-laki itu mengakhirinya dengan penggalan terakhir lagu Indonesia Pusaka:
Tempat berlindung di hari tua
tempat akhir menutup mata
Sebuah karya yang mempesona, disampaikan dengan penuh emosi dan penghayatan, yang seharusnya bisa menyentuh siapapun yang mendengarnya, tak terkecuali diriku.
"Saya mengucapkan terima kasih," kata laki-laki itu. Ia mengeluarkan sebuah kantung dari saku celananya. "Atas waktu yang telah diberikan kepada saya untuk menyampaikan karya sastra ini. Semoga karya ini dapat membekas dan memberikan sesuatu untuk Anda semua."
Ia lalu mulai menyodorkan kantung itu ke setiap penumpang, mulai dari depan, demi sumbangan atas perjuangannya terhadap sastra. Beberapa tampak menggelengkan kepala, yang ia terima dengan ikhlas. Aku sendiri menyumbang seribu rupiah; jumlah yang aku punya saat itu. Tak seberapa, memang, tapi toh laki-laki tersenyum saat mengucapkan terima kasih padaku. Aku merasa senang karena bisa membantunya, dan sedikit kecewa karena tak bisa memberi lebih.
Setelah selesai, laki-laki itu turun dari metro mini.
*
Sastra tampaknya tak lagi mendapat tempat yang layak di kebanyakan orang dewasa ini. Sastra tak lagi dianggap sebagai karya yang menyentuh; kecuali oleh segelintir orang-orang yang masih mempunyai hati yang jujur kepada keindahan karya-karya mempesona itu. Yang lain hanya memikirkan teknologi dan uang, uang, uang.
Para 'seniman jalanan' ini—begitu mereka menyebut dirinya—adalah contoh dari pejuang-pejuang karya seni yang tak kenal lelah membanting tulang demi mengabadikan karya-karya para penyair seperti Chairil Anwar, W.S. Rendra, Kahlil Gibran, Taufiq Ismail, dan lainnya. Mereka rela berpanas-panasan di jalanan demi kesetiaan dan kecintaan mereka terhadap karya-karya tersebut.
Tetapi, layakkah mereka seperti itu? Akankah mereka, pada nantinya, meninggalkan gelar 'seniman jalanan' dan menjadi seniman sesungguhnya di hati masyarakat? Tidak ada yang tahu.
Hingga saat itu tiba, mereka hanya bisa menuangkannya lewat puisi-puisi itu, di tempat kumuh seperti metro mini. Dengan tersenyum.
Ya, panas matahari menyinari semuanya, termasuk metro mini yang kunaiki.
Pipiku mengucurkan keringat—aku juga merasa bajuku mulai basah. Dalam hati, aku membayangkan betapa nikmatnya berada di rumah, nyaman dan tenteram. Tapi dalam kondisi basah oleh keringat seperti ini, bayangan itu pun tak mampu mengusir perasaan sebal terhadap panasnya hari.
Aku melihat sekeliling. Penumpang yang lainnya hampir sama sepertiku; berkeringat, menunjukkan wajah tak senang. Mungkin beberapa dari mereka berharap dapat cepat pulang ke rumah, atau mungkin sampai di tempat kerja yang sejuk, dan menyesalkan mengapa mereka harus berada di situasi yang tidak menyenangkan ini.
Metro mini ini berhenti di setiap halte; menurunkan atau menaikkan penumpang, tukang jualan, pengamen. Ketika metro mini sampai di satu halte, seorang laki-laki naik.
Laki-laki tersebut berkulit cokelat terbakar matahari, berumur sekitar dua puluh tahunan, mengenakan kaus lusuh berwarna hitam. Dengan rambut panjang dan janggut tipisnya, terlihat jelas bahwa ia tidak naik sebagai penumpang. Ia berdiri di dekat pintu sebelah depan.
"Selamat siang, bapak-bapak, ibu-ibu," mulai laki-laki itu. "Maaf mengganggu kenyamanan Anda, izinkan saya sejenak untuk melantunkan suatu goresan karya sastra, persembahan dari Chairil Anwar yang abadi di hati kami, para seniman jalanan. Semoga persembahan ini dapat menghibur Anda yang ada di sini dan dapat menorehkan sesuatu di hati."
Kemudian laki-laki itu mulai bernyanyi dengan suara seraknya:
Indonesia, tanah air beta
pusaka, abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
tetap dipuja-puja bangsa
Sebuah melodi yang menyayat hati; setidaknya bagi orang-orang yang peka, orang-orang yang peduli. Laki-laki itu melanjutkan 'pertunjukan'-nya dengan membaca sebuah puisi dari Chairil Anwar yang berjudul Do'a:
"Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
CahayaMu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintuMu aku mengetuk
Aku tak bisa berpaling."
Dan laki-laki itu mengakhirinya dengan penggalan terakhir lagu Indonesia Pusaka:
Tempat berlindung di hari tua
tempat akhir menutup mata
Sebuah karya yang mempesona, disampaikan dengan penuh emosi dan penghayatan, yang seharusnya bisa menyentuh siapapun yang mendengarnya, tak terkecuali diriku.
"Saya mengucapkan terima kasih," kata laki-laki itu. Ia mengeluarkan sebuah kantung dari saku celananya. "Atas waktu yang telah diberikan kepada saya untuk menyampaikan karya sastra ini. Semoga karya ini dapat membekas dan memberikan sesuatu untuk Anda semua."
Ia lalu mulai menyodorkan kantung itu ke setiap penumpang, mulai dari depan, demi sumbangan atas perjuangannya terhadap sastra. Beberapa tampak menggelengkan kepala, yang ia terima dengan ikhlas. Aku sendiri menyumbang seribu rupiah; jumlah yang aku punya saat itu. Tak seberapa, memang, tapi toh laki-laki tersenyum saat mengucapkan terima kasih padaku. Aku merasa senang karena bisa membantunya, dan sedikit kecewa karena tak bisa memberi lebih.
Setelah selesai, laki-laki itu turun dari metro mini.
*
Sastra tampaknya tak lagi mendapat tempat yang layak di kebanyakan orang dewasa ini. Sastra tak lagi dianggap sebagai karya yang menyentuh; kecuali oleh segelintir orang-orang yang masih mempunyai hati yang jujur kepada keindahan karya-karya mempesona itu. Yang lain hanya memikirkan teknologi dan uang, uang, uang.
Para 'seniman jalanan' ini—begitu mereka menyebut dirinya—adalah contoh dari pejuang-pejuang karya seni yang tak kenal lelah membanting tulang demi mengabadikan karya-karya para penyair seperti Chairil Anwar, W.S. Rendra, Kahlil Gibran, Taufiq Ismail, dan lainnya. Mereka rela berpanas-panasan di jalanan demi kesetiaan dan kecintaan mereka terhadap karya-karya tersebut.
Tetapi, layakkah mereka seperti itu? Akankah mereka, pada nantinya, meninggalkan gelar 'seniman jalanan' dan menjadi seniman sesungguhnya di hati masyarakat? Tidak ada yang tahu.
Hingga saat itu tiba, mereka hanya bisa menuangkannya lewat puisi-puisi itu, di tempat kumuh seperti metro mini. Dengan tersenyum.
Wednesday, February 24, 2010
Twitter di tangan mereka
I have been in the twitter world for long; at least, long enough to know what kind of people that use it. Dan gue agak miris dengan perkembangan jejaring sosial ini, khususnya di Indonesia.
Seperti yang kita semua tahu, mayoritas pengguna jejaring sosial--atau setidaknya yang paling berperan--adalah para remaja, such as myself, yang notabene bersifat temperamen dan labil. Kayak nama yang mulai ngetren: ababil, atau ABG labil. Dan para remaja itu pun tidak sedikit yang terdaftar di twitter, setidaknya sejak tahun lalu ketika twitter mulai terkenal.
Ada satu kecenderungan yang gue selalu liat dimana pun remaja berkumpul, yaitu membuat peraturan mereka sendiri.
Dalam facebook dan friendster, hal itu enggak terlalu keliatan, mungkin dikarenakan mereka punya halaman berbeda untuk tiap orang yang ada di dalamnya. Tapi twitter? Apa yang lo tulis bisa langsung diliat ratusan orang yang ngefollow, belum lagi kalo itu diretweet sama follower lo, second degree, third degree and so on. Jutaan orang bisa tahu apa yang lo tulis dalam batas 140 karakter itu.
Ditinjau dari satu sisi, hal ini--dilihat jutaan orang--ada positifnya. Contohnya adalah saat gempa di Padang, aksi terorisme yang berbuah gerakan IndonesiaUnite, dan bencana Haiti. Orang-orang akan tahu dan peduli bahkan menyumbang untuk hal tersebut.
Tapi kalo diliat lagi, sisi negatifnya juga ada. Seperti blog post gue sebelumnya tentang Marsha, kemudian kasus Mario Teguh baru-baru ini. Dari satu tulisan membuat mereka diserang dari berbagai arah. Keterangan terbaru adalah Marsha diberi skorsing satu minggu dan denda sejumlah uang untuk kerugian sponsor sekolahnya yang mengundurkan diri. Maksud gue, is it really necessary?
Masih banyak contoh yang lain, tapi yang mau gue katakan adalah, seperti kata pepatah, mulutmu harimaumu. Kita enggak tahu betapa besarnya kekuatan massa. Hey, Presiden Soeharto aja bisa digulingkan.
*
Okay, so now I'm trying to make a list of what they've done in twitter:
1. Gelar 'Bacoters'
'Bacoters' adalah gelar bagi orang-orang yang suka 'ngebacot' atau banyak ngetweet. Dan kalo udah diakui pengikutnya bahwa ia adalah seorang 'bacoters', bangganya minta ampun. I mean, hey, 'bacot' is not even an Indonesian word. Well, 'bacoters', seperti yang mereka bilang sendiri, suka nyampah (ngetweet dalam jumlah banyak tanpa maksud). Dan mereka senang kalo udah menuhin timeline orang dengan update sejenis 'gue lagi kangen' 'laper nih' atau 'ujan-ujan gini enaknya ngapain ya?'.
2. Follower Beggar
Familiar dengan kata-kata 'I need 2 more followers, please!' dan sejenisnya? Gue iya. Oke, jadi misalkan kalo dua orang udah ngefollow lo, what would you do? Throw a party and greet your undersea friends? Oh, itu liriknya Owl City.
3. Limit
'#infolimit si @username limit, RT yang baik!'
Suppose I have RT'd it. What will I get? What favor will it do for you and the limit-person?
4. So-called Love Quotes account
Seperti yang gue sebut di blog post sebelumnya, akun yang isinya kata-kata yang cenderung terlalu cengeng untuk cinta. That is not a quote, itu curhat. Both are different. Dan sayangnya, akun-akun kayak gini mulai menjamur di twitter, menjadi semacam tren.
5. Alasan Males
I often see this:
'Gara-gara twitter jadi males belajar, males ngerjain tugas, blah blah blah.'
Oke, twitter ngebuat gue males. Males nulis. Alasannya, karena apa yang ada dipikiran gue udah tertuang di twitter sebelum gue sempet nuangin dalam tulisan. Tapi ngebuat gue males belajar? A big no, khususnya kalo lo udah tau apa yang mau lo lakuin di masa depan. Lo tau, ini kayak enggak bisa buang air besar terus nyalahin kloset.
6. Trending Topics
Paling sedikit satu kali seminggu, ada aja trending topics yang berasal dari tweet-tweet remaja-remaja di Indonesia. 'Gak', 'RT buruan', 'YANG MAU DI', 'Sama RT', 'RTLAHHH', 'Wajib' adalah beberapa diantaranya. Bahkan akun twitter What The Trend, @wtt, yang kerjanya mendefinisikan setiap trending topic yang ada, menganggap topik-topik yang berasal dari kata-kata bahasa Indonesia yang isinya enggak penting itu mengganggu dan membuang-buang waktu. Jadi orang-orang asing mungkin akan menganggap kita pribumi yang banyak bicara omong kosong dan makin merendahkan Indonesia di mata dunia.
*
Mungkin ini menimbulkan pertanyaan: kenapa gue nulis para remaja itu sebagai 'mereka', seolah-olah gue bukan seorang remaja dari Indonesia? Itu karena gue di sini bicara mayoritas. Enggak semua remaja kayak begini; beberapa cukup dewasa untuk bersikap, beberapa masa bodoh karena punya kehidupan yang lebih bermakna, dan beberapa lainnya yang bahkan enggak tau twitter. Tapi kebanyakan remaja yang tergabung dalam situs jejaring sosial adalah seperti yang gue tulis di atas.
Gue enggak bermaksud menggurui, menyudutkan, atau menghina siapapun dengan tulisan ini. Yang mau gue bilang hanyalah kita harus berpikir sebelum bertindak, karena niat baik belum tentu menuai hasil yang baik.
Seperti yang kita semua tahu, mayoritas pengguna jejaring sosial--atau setidaknya yang paling berperan--adalah para remaja, such as myself, yang notabene bersifat temperamen dan labil. Kayak nama yang mulai ngetren: ababil, atau ABG labil. Dan para remaja itu pun tidak sedikit yang terdaftar di twitter, setidaknya sejak tahun lalu ketika twitter mulai terkenal.
Ada satu kecenderungan yang gue selalu liat dimana pun remaja berkumpul, yaitu membuat peraturan mereka sendiri.
Dalam facebook dan friendster, hal itu enggak terlalu keliatan, mungkin dikarenakan mereka punya halaman berbeda untuk tiap orang yang ada di dalamnya. Tapi twitter? Apa yang lo tulis bisa langsung diliat ratusan orang yang ngefollow, belum lagi kalo itu diretweet sama follower lo, second degree, third degree and so on. Jutaan orang bisa tahu apa yang lo tulis dalam batas 140 karakter itu.
Ditinjau dari satu sisi, hal ini--dilihat jutaan orang--ada positifnya. Contohnya adalah saat gempa di Padang, aksi terorisme yang berbuah gerakan IndonesiaUnite, dan bencana Haiti. Orang-orang akan tahu dan peduli bahkan menyumbang untuk hal tersebut.
Tapi kalo diliat lagi, sisi negatifnya juga ada. Seperti blog post gue sebelumnya tentang Marsha, kemudian kasus Mario Teguh baru-baru ini. Dari satu tulisan membuat mereka diserang dari berbagai arah. Keterangan terbaru adalah Marsha diberi skorsing satu minggu dan denda sejumlah uang untuk kerugian sponsor sekolahnya yang mengundurkan diri. Maksud gue, is it really necessary?
Masih banyak contoh yang lain, tapi yang mau gue katakan adalah, seperti kata pepatah, mulutmu harimaumu. Kita enggak tahu betapa besarnya kekuatan massa. Hey, Presiden Soeharto aja bisa digulingkan.
*
Okay, so now I'm trying to make a list of what they've done in twitter:
1. Gelar 'Bacoters'
'Bacoters' adalah gelar bagi orang-orang yang suka 'ngebacot' atau banyak ngetweet. Dan kalo udah diakui pengikutnya bahwa ia adalah seorang 'bacoters', bangganya minta ampun. I mean, hey, 'bacot' is not even an Indonesian word. Well, 'bacoters', seperti yang mereka bilang sendiri, suka nyampah (ngetweet dalam jumlah banyak tanpa maksud). Dan mereka senang kalo udah menuhin timeline orang dengan update sejenis 'gue lagi kangen' 'laper nih' atau 'ujan-ujan gini enaknya ngapain ya?'.
2. Follower Beggar
Familiar dengan kata-kata 'I need 2 more followers, please!' dan sejenisnya? Gue iya. Oke, jadi misalkan kalo dua orang udah ngefollow lo, what would you do? Throw a party and greet your undersea friends? Oh, itu liriknya Owl City.
3. Limit
'#infolimit si @username limit, RT yang baik!'
Suppose I have RT'd it. What will I get? What favor will it do for you and the limit-person?
4. So-called Love Quotes account
Seperti yang gue sebut di blog post sebelumnya, akun yang isinya kata-kata yang cenderung terlalu cengeng untuk cinta. That is not a quote, itu curhat. Both are different. Dan sayangnya, akun-akun kayak gini mulai menjamur di twitter, menjadi semacam tren.
5. Alasan Males
I often see this:
'Gara-gara twitter jadi males belajar, males ngerjain tugas, blah blah blah.'
Oke, twitter ngebuat gue males. Males nulis. Alasannya, karena apa yang ada dipikiran gue udah tertuang di twitter sebelum gue sempet nuangin dalam tulisan. Tapi ngebuat gue males belajar? A big no, khususnya kalo lo udah tau apa yang mau lo lakuin di masa depan. Lo tau, ini kayak enggak bisa buang air besar terus nyalahin kloset.
6. Trending Topics
Paling sedikit satu kali seminggu, ada aja trending topics yang berasal dari tweet-tweet remaja-remaja di Indonesia. 'Gak', 'RT buruan', 'YANG MAU DI', 'Sama RT', 'RTLAHHH', 'Wajib' adalah beberapa diantaranya. Bahkan akun twitter What The Trend, @wtt, yang kerjanya mendefinisikan setiap trending topic yang ada, menganggap topik-topik yang berasal dari kata-kata bahasa Indonesia yang isinya enggak penting itu mengganggu dan membuang-buang waktu. Jadi orang-orang asing mungkin akan menganggap kita pribumi yang banyak bicara omong kosong dan makin merendahkan Indonesia di mata dunia.
*
Mungkin ini menimbulkan pertanyaan: kenapa gue nulis para remaja itu sebagai 'mereka', seolah-olah gue bukan seorang remaja dari Indonesia? Itu karena gue di sini bicara mayoritas. Enggak semua remaja kayak begini; beberapa cukup dewasa untuk bersikap, beberapa masa bodoh karena punya kehidupan yang lebih bermakna, dan beberapa lainnya yang bahkan enggak tau twitter. Tapi kebanyakan remaja yang tergabung dalam situs jejaring sosial adalah seperti yang gue tulis di atas.
Gue enggak bermaksud menggurui, menyudutkan, atau menghina siapapun dengan tulisan ini. Yang mau gue bilang hanyalah kita harus berpikir sebelum bertindak, karena niat baik belum tentu menuai hasil yang baik.
Thursday, February 18, 2010
About The Marsha-girl
Akhir-akhir ini, kasus tentang cyberworld atawa dunia maya lagi marak-maraknya. Lihat aja, kasus hilangnya remaja-remaja yang diakibatkan facebook, serta yang baru-baru ini ngetren, kasus seorang remaja yang terancam DO di sekolahnya gara-gara terlibat adu mulut di twitter. Dan entah kenapa gue jadi tertarik untuk nulis tentang ini.
Saat ketika tatkala gue denger tentang berita facebook itu, hanya satu yang terpikir: has facebook turned into an alien spaceship that could abduct people?
Tapi setelah dipikir-pikir, kenyataan bahwa facebook dihuni oleh makhluk-makhluk hijau berlendir sangat tidak mungkin untuk diterima.
Setelah ditelaah, usut punya usut ternyata menghilangnya beberapa remaja itu berawal dari perjanjian untuk bertemu yang dibuat lewat facebook. Intinya, jadi kayak semacam blind date gitu. It was kinda funny, though. Jaman sekarang masih ada aja yang kayak gitu--maksudnya, apa mereka sebegitu tidak punya perannya di dunia nyata sampai-sampai mereka percaya begitu aja sama apa yang ditulis orang?
As for the girl on twitter, whose name is Marsha, awalnya hanya mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap satu akun twitter yang kerjaannya ngupdate kata-kata cinta. Dan kata-kata itu, dalam pandangan Marsha, terlalu cengeng untuk jadi sesuatu yang pantas di retweet, atau bahkan hanya dibaca. Selain itu, Marsha juga menyinggung soal kemampuan bahasa Inggris sang pemilik akun kata-kata cinta tadi yang katanya jelek.
Dalam hal ini, I'm with Marsha. Karena, tanpa maksud menyinggung, gue sependapat bahwa akun tersebut emang bener terlalu cengeng. Dan tanpa disadari, tulisan-tulisan itu mungkin telah mengambil peran dalam merubah pandangan remaja sekarang akan cinta seakan-akan tanpa cinta (yang umumnya masih merupakan sesuatu yang klise), mereka tidak bisa hidup. Please. Life's too short to be filled with pessimistic things as such.
Tapi kemudian, pengikut akun kata-kata cinta tadi (yang saat itu kira-kira 11.000an), tidak terima dengan perkataan Marsha itu. Jadilah mereka mulai menyerang Marsha dengan kata-kata yang tak kalah pedas.
Sayangnya di tengah-tengah 'serangan' itu, Marsha berusaha melawan dan, entah disadari atau tidak, ada sedikit sifat sombong yang keluar. Ia menyebut bahwa anak-anak yang sekolah di sekolah negeri sebagai kampungan. Ia sendiri sekolah di sekolah swasta (yang gue ga mau sebut namanya, tapi kalo lo mau susah-susah dikit ngegugel juga pasti langsung tau) di kelas internasional. Dan ia juga membangga-banggakan kekayaannya dan ada satu updatenya yang mengatakan bahwa ia adalah orang yang sempurna. Well, that's something.
Dan parahnya lagi, Marsha tanpa disadari telah menjelek-jelekkan nama sekolahnya. Alhasil, hari ini (18/2) Marsha disidang di sekolahnya. Menurut kabar yang santer terdengar, katanya Marsha akan di DO. Tapi dari update yang gue baca, katanya pihak sekolah masih mempertimbangkan tindakan yang akan dilakukan terhadap Marsha.
Walaupun gue juga anak negeri, but I didn't take it personally. Gue hanya ngeliat Marsha sebagai seorang out-spoken girl yet a bit cocky and stubborn, dan itu juga tak lebih karena ia lagi ada di dalam tekanan. Bila diliat, yang kayak begitu bukan cuma Marsha kok. Banyak diantara remaja pengguna twitter yang juga suka menyombongkan kekayaan dan menggunakan kata-kata kasar untuk mengolok-olok.
Anyhow, this case was another example of how words can be so powerful. Think before you talk, or tweet, or anything else, so that you wouldn't get into trouble, get killed, or worse: expelled.
Oh, that's Hermione's line.
Saat ketika tatkala gue denger tentang berita facebook itu, hanya satu yang terpikir: has facebook turned into an alien spaceship that could abduct people?
Tapi setelah dipikir-pikir, kenyataan bahwa facebook dihuni oleh makhluk-makhluk hijau berlendir sangat tidak mungkin untuk diterima.
Setelah ditelaah, usut punya usut ternyata menghilangnya beberapa remaja itu berawal dari perjanjian untuk bertemu yang dibuat lewat facebook. Intinya, jadi kayak semacam blind date gitu. It was kinda funny, though. Jaman sekarang masih ada aja yang kayak gitu--maksudnya, apa mereka sebegitu tidak punya perannya di dunia nyata sampai-sampai mereka percaya begitu aja sama apa yang ditulis orang?
As for the girl on twitter, whose name is Marsha, awalnya hanya mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap satu akun twitter yang kerjaannya ngupdate kata-kata cinta. Dan kata-kata itu, dalam pandangan Marsha, terlalu cengeng untuk jadi sesuatu yang pantas di retweet, atau bahkan hanya dibaca. Selain itu, Marsha juga menyinggung soal kemampuan bahasa Inggris sang pemilik akun kata-kata cinta tadi yang katanya jelek.
Dalam hal ini, I'm with Marsha. Karena, tanpa maksud menyinggung, gue sependapat bahwa akun tersebut emang bener terlalu cengeng. Dan tanpa disadari, tulisan-tulisan itu mungkin telah mengambil peran dalam merubah pandangan remaja sekarang akan cinta seakan-akan tanpa cinta (yang umumnya masih merupakan sesuatu yang klise), mereka tidak bisa hidup. Please. Life's too short to be filled with pessimistic things as such.
Tapi kemudian, pengikut akun kata-kata cinta tadi (yang saat itu kira-kira 11.000an), tidak terima dengan perkataan Marsha itu. Jadilah mereka mulai menyerang Marsha dengan kata-kata yang tak kalah pedas.
Sayangnya di tengah-tengah 'serangan' itu, Marsha berusaha melawan dan, entah disadari atau tidak, ada sedikit sifat sombong yang keluar. Ia menyebut bahwa anak-anak yang sekolah di sekolah negeri sebagai kampungan. Ia sendiri sekolah di sekolah swasta (yang gue ga mau sebut namanya, tapi kalo lo mau susah-susah dikit ngegugel juga pasti langsung tau) di kelas internasional. Dan ia juga membangga-banggakan kekayaannya dan ada satu updatenya yang mengatakan bahwa ia adalah orang yang sempurna. Well, that's something.
Dan parahnya lagi, Marsha tanpa disadari telah menjelek-jelekkan nama sekolahnya. Alhasil, hari ini (18/2) Marsha disidang di sekolahnya. Menurut kabar yang santer terdengar, katanya Marsha akan di DO. Tapi dari update yang gue baca, katanya pihak sekolah masih mempertimbangkan tindakan yang akan dilakukan terhadap Marsha.
Walaupun gue juga anak negeri, but I didn't take it personally. Gue hanya ngeliat Marsha sebagai seorang out-spoken girl yet a bit cocky and stubborn, dan itu juga tak lebih karena ia lagi ada di dalam tekanan. Bila diliat, yang kayak begitu bukan cuma Marsha kok. Banyak diantara remaja pengguna twitter yang juga suka menyombongkan kekayaan dan menggunakan kata-kata kasar untuk mengolok-olok.
Anyhow, this case was another example of how words can be so powerful. Think before you talk, or tweet, or anything else, so that you wouldn't get into trouble, get killed, or worse: expelled.
Oh, that's Hermione's line.
Sunday, February 14, 2010
The Book of Mood Booster
Hai.
Berhubung di sekolah gue ada pelajaran bahasa Jerman, dan di situ nilai gue alhamdulillah bagus-bagus, dan beberapa minggu yang lalu gue baru menangin lomba Lesen auf Deutsch (membaca teks bahasa jerman), gue jadi bersemangat untuk mendalami bahasa Jerman.
Daaan... karena iseng sekaligus didasari sedikit sifat songong yang berlebih, gue nyoba ngubah bahasa di blogger dan facebook gue jadi Deutsch. Hasilnya?
Sukses. Sukses ngebuat gue pusing.
Anyhow, sekarang gue masih sibuk sekolah nih--atawa lebih tepatnya: menyibukkan diri. Ya, mungkin gue adalah salah satu dari segelintir manusia yang menganggap bahwa trigonometri, daur hidup porifera, reaksi redoks, dan teman-teman sejenisnya yang lain sebagai sesuatu yang pantas untuk mengisi pikiran.
Well, the proverb 'no pain no gain' really means a lot.
As you can see, gue udah mulai jarang ngeblog. Jangankan ngeblog; frekuensi gue update twitter aja udah semakin menurun. Apalagi facebook. Gue mulai takut jangan-jangan nanti gue bertransformasi jadi makhluk anti-dunia-maya. Atau mungkin makhluk yang enggak-terlalu-suka-dunia-maya-dan-jejaring-sosial-yang-populasi-penggunanya-udah-terlalu-membeludak. Hmm.
*
On the other hand, semangat gue untuk menulis sedang minim nih. Walaupun ide dan inspirasi udah segudang (and counting), gue kayak enggak bergairah untuk nulisnya. Microsoft Word telah gue telantarkan selama beberapa minggu ini. Maaf ya, Mic.
Yeah, dan mungkin terpengaruh juga sama mood gue yang lagi berantakan-bin-acakadul minggu-minggu ini. Don't ask why, karena gue sendiri enggak tau. There's something one cannot explain, and that something is currently swarming inside me.
*sigh*
Tapiiiiiiiii... di sela-sela hidup gue yang lagi suram ini, masih ada yang bisa bikin gue senyum. Dan the thing is... a book.
Anne of Green Gables, karya Lucy M. Montgomery. Ceritanya simpel, tentang kehidupan seorang gadis kecil yatim piatu, Anne Shirley, yang diadopsi sama sepasang suami istri yang tinggal di rumah bernama Green Gables, di Avonlea, Prince Edward Island, Kanada.
Dan menurut gue, tingkah laku Anne, kecenderungannya untuk masuk ke dalam masalah, imajinasinya yang enggak terbatas, dan mulutnya yang seakan nggak bisa berhenti bicara itu sangat menghibur. Apalagi ditambah penggambaran suasana Avonlea oleh sang penulis sehingga gue bisa membayangkan indahnya alam di sana.
Really, this old book is awesome. Dan walaupun yang versi bahasa Indonesianya ada di toko-toko buku, gue punya yang bahasa Inggris.
Dan beberapa hari yang lalu gue baru tau kalo Anne of Green Gables ada filmnya. Gue pengen beli! Yang main Megan Follows, dan itu kalo ga salah film tahun 1985. Cari di mana ya?
*
Well, that's the update for now. See you later, maybe in another million years.
Berhubung di sekolah gue ada pelajaran bahasa Jerman, dan di situ nilai gue alhamdulillah bagus-bagus, dan beberapa minggu yang lalu gue baru menangin lomba Lesen auf Deutsch (membaca teks bahasa jerman), gue jadi bersemangat untuk mendalami bahasa Jerman.
Daaan... karena iseng sekaligus didasari sedikit sifat songong yang berlebih, gue nyoba ngubah bahasa di blogger dan facebook gue jadi Deutsch. Hasilnya?
Sukses. Sukses ngebuat gue pusing.
Anyhow, sekarang gue masih sibuk sekolah nih--atawa lebih tepatnya: menyibukkan diri. Ya, mungkin gue adalah salah satu dari segelintir manusia yang menganggap bahwa trigonometri, daur hidup porifera, reaksi redoks, dan teman-teman sejenisnya yang lain sebagai sesuatu yang pantas untuk mengisi pikiran.
Well, the proverb 'no pain no gain' really means a lot.
As you can see, gue udah mulai jarang ngeblog. Jangankan ngeblog; frekuensi gue update twitter aja udah semakin menurun. Apalagi facebook. Gue mulai takut jangan-jangan nanti gue bertransformasi jadi makhluk anti-dunia-maya. Atau mungkin makhluk yang enggak-terlalu-suka-dunia-maya-dan-jejaring-sosial-yang-populasi-penggunanya-udah-terlalu-membeludak. Hmm.
*
On the other hand, semangat gue untuk menulis sedang minim nih. Walaupun ide dan inspirasi udah segudang (and counting), gue kayak enggak bergairah untuk nulisnya. Microsoft Word telah gue telantarkan selama beberapa minggu ini. Maaf ya, Mic.
Yeah, dan mungkin terpengaruh juga sama mood gue yang lagi berantakan-bin-acakadul minggu-minggu ini. Don't ask why, karena gue sendiri enggak tau. There's something one cannot explain, and that something is currently swarming inside me.
*sigh*
Tapiiiiiiiii... di sela-sela hidup gue yang lagi suram ini, masih ada yang bisa bikin gue senyum. Dan the thing is... a book.
Anne of Green Gables, karya Lucy M. Montgomery. Ceritanya simpel, tentang kehidupan seorang gadis kecil yatim piatu, Anne Shirley, yang diadopsi sama sepasang suami istri yang tinggal di rumah bernama Green Gables, di Avonlea, Prince Edward Island, Kanada.
Dan menurut gue, tingkah laku Anne, kecenderungannya untuk masuk ke dalam masalah, imajinasinya yang enggak terbatas, dan mulutnya yang seakan nggak bisa berhenti bicara itu sangat menghibur. Apalagi ditambah penggambaran suasana Avonlea oleh sang penulis sehingga gue bisa membayangkan indahnya alam di sana.
Really, this old book is awesome. Dan walaupun yang versi bahasa Indonesianya ada di toko-toko buku, gue punya yang bahasa Inggris.
Dan beberapa hari yang lalu gue baru tau kalo Anne of Green Gables ada filmnya. Gue pengen beli! Yang main Megan Follows, dan itu kalo ga salah film tahun 1985. Cari di mana ya?
*
Well, that's the update for now. See you later, maybe in another million years.
Thursday, January 28, 2010
Keep it simple, keep it easy
Di posting kali ini, gue akan ngebahas hal yang cukup simpel: susahnya belajar.
Yep, kayaknya kalo kita denger kata matematika, fisika, dan kawan-kawan sejenisnya, yang langsung terlintas di pikiran kita adalah: SUSAH. Karena susah itu, bawaannya jadi males. Kalo guru nerangin, penyakit ngantuk akan datang dalam hitungan detik. Alhasil, nilai-nilai amburadul.
Lalu, gimana cara ngatasinnya?
Dari dulu, banyak motivator-motivator yang pernah gue liat; entah di TV, di sekolah, atau di event-event tertentu. Dan ketika membicarakan kiat-kiat menghadapi masalah dalam kerjaan atawa belajar, mereka sampai pada kesimpulan yang sama:
Everything is hard only when you think it is.
Atau dalam bahasa indo: Segala sesuatu akan susah, kalo kita berpikir bahwa hal itu susah.
Bingung? Pegangan.
Jadi maksudnya gini. Segala kesusahan itu berasal dari pikiran kita sendiri. Kalo kita mikir, contoh, ngejait itu susah, maka sampai kapan pun kita ga akan bisa ngejait. Begitu halnya dengan pelajaran. Selama kita berpikir bahwa suatu mata pelajaran itu susah, maka sampai kapanpun juga akan tetep susah. Dan tipikal orang indonesia mayoritas: begitu ketemu sesuatu yang susah, cenderung memilih untuk menghindar.
Our mind does the trick. Berkaitan dengan posting sebelumnya, paradigma-paradigma seperti matematika adalah suatu momok menakutkan yang menjadikannya seperti itu. Buang aja pikiran kayak gitu, dan mulai melihat semua hal seakan itu hal yang gampang.
Sama aja dengan menggampangkan dong? Nggak. Sama sekali beda. Menggampangkan adalah kata lain dari meremehkan, yang artinya menganggap sesuatu tidak penting. Coba perhatiin dua kalimat berikut:
"Fisika itu gampang, dan gue pasti bisa."
"Fisika mah gampang, nanti aja juga bisa."
Kalimat pertama menggambarkan bahwa fisika itu gampang, karena itu gue harus bisa. Sedangkan kalimat kedua menyiratkan bahwa fisika itu tidak penting dan bisa dikerjakan nanti-nanti aja. Well, menggampangkan adalah pangkal dari prokrastinasi.
Kadang, penyebab utama kita males belajar matematika adalah ketika buka buku, angka-angka suram nan bikin pusing datang menyambut. Coba ganti di pikiran kita kata-kata 'suram nan bikin pusing' itu dengan kata-kata 'asyik dan menyenangkan'. Ulang terus dalem hati, hingga kata-kata itu masuk ke otak kita. And guess what, matematika bener-bener jadi sesuatu yang menyenangkan.
Tapi dasar dari semua ini adalah niat dan kemauan. Walaupun kita udah ngulang kata-kata di atas sejuta kali juga kalo kita enggak niat percuma aja. Mau belajar matematika, mau ngerti fisika, and God will show the way. Kalo enggak ada kemauan sih, yah, sama aja bodong. Eh, boong.
So... let's keep it simple and easy, shall we?
Ciao.
Yep, kayaknya kalo kita denger kata matematika, fisika, dan kawan-kawan sejenisnya, yang langsung terlintas di pikiran kita adalah: SUSAH. Karena susah itu, bawaannya jadi males. Kalo guru nerangin, penyakit ngantuk akan datang dalam hitungan detik. Alhasil, nilai-nilai amburadul.
Lalu, gimana cara ngatasinnya?
Dari dulu, banyak motivator-motivator yang pernah gue liat; entah di TV, di sekolah, atau di event-event tertentu. Dan ketika membicarakan kiat-kiat menghadapi masalah dalam kerjaan atawa belajar, mereka sampai pada kesimpulan yang sama:
Everything is hard only when you think it is.
Atau dalam bahasa indo: Segala sesuatu akan susah, kalo kita berpikir bahwa hal itu susah.
Bingung? Pegangan.
Jadi maksudnya gini. Segala kesusahan itu berasal dari pikiran kita sendiri. Kalo kita mikir, contoh, ngejait itu susah, maka sampai kapan pun kita ga akan bisa ngejait. Begitu halnya dengan pelajaran. Selama kita berpikir bahwa suatu mata pelajaran itu susah, maka sampai kapanpun juga akan tetep susah. Dan tipikal orang indonesia mayoritas: begitu ketemu sesuatu yang susah, cenderung memilih untuk menghindar.
Our mind does the trick. Berkaitan dengan posting sebelumnya, paradigma-paradigma seperti matematika adalah suatu momok menakutkan yang menjadikannya seperti itu. Buang aja pikiran kayak gitu, dan mulai melihat semua hal seakan itu hal yang gampang.
Sama aja dengan menggampangkan dong? Nggak. Sama sekali beda. Menggampangkan adalah kata lain dari meremehkan, yang artinya menganggap sesuatu tidak penting. Coba perhatiin dua kalimat berikut:
"Fisika itu gampang, dan gue pasti bisa."
"Fisika mah gampang, nanti aja juga bisa."
Kalimat pertama menggambarkan bahwa fisika itu gampang, karena itu gue harus bisa. Sedangkan kalimat kedua menyiratkan bahwa fisika itu tidak penting dan bisa dikerjakan nanti-nanti aja. Well, menggampangkan adalah pangkal dari prokrastinasi.
Kadang, penyebab utama kita males belajar matematika adalah ketika buka buku, angka-angka suram nan bikin pusing datang menyambut. Coba ganti di pikiran kita kata-kata 'suram nan bikin pusing' itu dengan kata-kata 'asyik dan menyenangkan'. Ulang terus dalem hati, hingga kata-kata itu masuk ke otak kita. And guess what, matematika bener-bener jadi sesuatu yang menyenangkan.
Tapi dasar dari semua ini adalah niat dan kemauan. Walaupun kita udah ngulang kata-kata di atas sejuta kali juga kalo kita enggak niat percuma aja. Mau belajar matematika, mau ngerti fisika, and God will show the way. Kalo enggak ada kemauan sih, yah, sama aja bodong. Eh, boong.
So... let's keep it simple and easy, shall we?
Ciao.
Sunday, January 24, 2010
Posting Iseng
Hey-oh. Udah lama tidak bersua.
Entah kenapa kayaknya belakangan ini gue sibuk banget. Dari sekolah, nulis cerpen, ngebalesin e-mail (ya, ini juga sibuk), dan yang paling bikin sibuk itu proyek desain web gue dari sebulan yang lalu, yang alhamdulillah sekarang udah selesai. Dan gue dapet honor deh. Ihiy.
Anyway, ketika disela-sela kesibukan itu gue lagi ga ngapa-ngapain, sekarang gue jadi sering nonton TV. Sekarang lagi marak-maraknya kasus pembobolan ATM. Udah gitu, sempet tersiar kabar katanya bank yang kebobolan itu mau ngeblokir ATM-ATM lainnya selama beberapa saat. Miris juga ngeliat korban yang ATMnya kebobolan. Mendingan lain kali simpen di bawah bantal aja deh.
Selain kasus pembobolan ATM, ada lagi yang tak kalah serunya: pemeriksaan dubur anak jalanan.
Pertama kali gue liat berita ini di koran, gue takjub.
Apa saking udah ga ada kerjaannya, mereka nyari hobi baru?
Ini udah melanggar HAM dong. Bukan, bukan ham daging babi. Well, yah, tau lah.
Ya know, sekarang gue males mikirin negara. I know I shouldn't, but I can't help it. Lebih enak mikirin sekolah gue aja.
Entah kenapa kayaknya belakangan ini gue sibuk banget. Dari sekolah, nulis cerpen, ngebalesin e-mail (ya, ini juga sibuk), dan yang paling bikin sibuk itu proyek desain web gue dari sebulan yang lalu, yang alhamdulillah sekarang udah selesai. Dan gue dapet honor deh. Ihiy.
Anyway, ketika disela-sela kesibukan itu gue lagi ga ngapa-ngapain, sekarang gue jadi sering nonton TV. Sekarang lagi marak-maraknya kasus pembobolan ATM. Udah gitu, sempet tersiar kabar katanya bank yang kebobolan itu mau ngeblokir ATM-ATM lainnya selama beberapa saat. Miris juga ngeliat korban yang ATMnya kebobolan. Mendingan lain kali simpen di bawah bantal aja deh.
Selain kasus pembobolan ATM, ada lagi yang tak kalah serunya: pemeriksaan dubur anak jalanan.
Pertama kali gue liat berita ini di koran, gue takjub.
Apa saking udah ga ada kerjaannya, mereka nyari hobi baru?
Ini udah melanggar HAM dong. Bukan, bukan ham daging babi. Well, yah, tau lah.
Ya know, sekarang gue males mikirin negara. I know I shouldn't, but I can't help it. Lebih enak mikirin sekolah gue aja.
Sunday, January 17, 2010
Paradigma Kuno Itu
Udah lama posting tentang hal yang ga keruan, sekarang mau posting tentang sesuatu yang (agak) berguna aah. Lagi pengen ngomongin pendidikan di Indonesia nih. Sok pintar? Well, coba sekali-sekali buka UUD '45 dan liat ada pasal yang menyebutkan tentang kebebasan berpendapat. So, here I am.
As we know, Indonesia emang level pendidikannya masih--yah, kalo ga mau dibilang rendah--menengah. Dan itu terkadang memunculkan pertanyaan di kepala gue: apa yang ngebuat Indonesia ga bisa maju?
Apa karena pemerintah enggak peduli? Mereka udah ngasih fasilitas kok.
Apa karena kita ga punya guru kompeten? Ada banyak malah, dari yang masih muda sampe yang jalannya sempoyongan dan ubanan.
Gue sering baca buku-buku tentang orang-orang sukses dari Indonesia. Mereka--mayoritas berada di luar negeri--sekarang udah menikmati hasil kesuksesan mereka. Mereka pun dulunya bersekolah di Indonesia. Lalu, kenapa mereka bisa sukses?
Maaf, pertanyaan di atas tadi salah. 'Kenapa' terlalu menjurus kepada latar belakang. Pertanyaan itu bisa dijawab dengan 'karena mereka pintar', 'karena mereka orang kaya', atau segelintir jawaban-jawaban pemakluman yang lainnya. Jadi, pertanyaan itu gue ubah menjadi: bagaimana mereka bisa sukses?
Jawabannya, karena mereka mempunyai keinginan kuat untuk sukses. Dan mereka sadar, bahwa kesuksesan (kecuali bagi mereka yang emang punya tingkat keberuntungan sangat tinggi) didasari oleh pendidikan yang mapan. Karena itu, mereka punya keinginan yang juga kuat untuk menuntut ilmu.
Tapi dari buku yang gue baca, orang-orang sukses tersebut hanya berada di angka tiga ratus sampai empat ratus orang. Sedangkan kita tau, penduduk Indonesia ada dua ratus juta lebih. Lantas, apa yang salah dengan yang lain?
Dari semua buku-buku itu, gue bisa menyimpulkan satu hal: bahwa yang salah, tak lain adalah mindset. Ya. Inget nggak waktu Anda bersekolah, baik yang udah lulus maupun masih, pernah terpikir hal-hal berikut ini:
- Setelah weekend, hari Senin adalah momok yang menakutkan.
- Menuntut liburan lebih, bahkan kadang meminta sekolah ditiadakan.
- Benci pelajaran, benci guru, benci matematika, fisika, kimia, dan lain-lain.
Ya. Paradigma bahwa sekolah adalah sesuatu yang 'menakutkan' dan merupakan 'kewajiban yang dipaksakan' melekat begitu erat di kepala anak-anak Indonesia. Hal ini telah terjadi bertahun-tahun, sehingga anggapan itu udah tertanam dalam.
Di twitter adalah contoh paling jelas. Ya, timeline gue setiap harinya selalu ada keluhan dari anak-anak sekolah tentang betapa mereka berharap sekolah bukan merupakan keharusan. I'm not blaming them, though. Seperti yang gue bilang tadi, kita negara demokratis yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Tapi jujur, pas gue ngebaca tulisan-tulisan itu, gue ngerasa agak... yah... kasian.
Ga bisa nutup mata juga, gue dulu kayak gitu. Dan perubahan terjadi pas gue naik kelas dua SMP. Gue saat itu sadar, bahwa demi menggapai mimpi-mimpi gue, cuma bisa dengan jalan belajar. Gue nggak mau nggantungin hidup gue hanya dengan setitik keberuntungan yang mungkin bisa ngebuat gue jadi orang paling sukses di dunia sekalipun. Semua itu butuh perjuangan.
Gue ngerasa, tahun dimana Indonesia bisa maju adalah tahun ketika pelajar-pelajar Indonesia telah mempunyai keinginan untuk belajar yang kuat.
Gimana untuk punya keinginan itu? Sederhana, mulai aja dari nentuin tujuan hidup. Buat aja cita-cita yang tinggi namun rasional. Dan ketika cita-cita itu udah pasti, berjanjilah ke diri sendiri: Gue akan jadi seperti apa yang gue mau, dan gue akan melakukan apapun untuk itu.
Karena dari janji itu, kita bisa sadar, bahwa cita-cita ga mungkin dateng kayak buah mangga mateng yang jatoh dari pohon (again, kecuali untuk segelintir orang-orang beruntung itu), melainkan melalui sebuah perjuangan. Dan perjuangan itu mulai dari hal kecil: sekolah.
Kenapa sekolah? Karena semua bidang selalu ada proses pembelajaran. Mau jadi pengusaha, harus sekolah manajemen. Mau jadi penyanyi, masuk sekolah musik. Mau jadi penari, ikut kursus. Mau jadi pilot dan dokter aja juga perlu sekolah. Kecuali kalo cita-cita lo mau jadi tukang gali sumur atau tukang becak yang hanya mengandalkan fisik, maka sekolah adalah kebutuhan sekunder.
Really, prinsip dan tujuan hidup punya peran penting dalam kesuksesan. Untuk yang paling deket, kesuksesan di sekolah dulu aja.
Mungkin gue udah bicara terlalu banyak untuk seorang anak SMA berusia lima belas tahun. Atau mungkin ada juga yang bilang, 'Omongan lo kecepetan tiga puluh tahun, bung!'. Well, yeah. Gue pengen ada perubahan. Kayak omongan dari salah satu episode Mario Teguh Golden Ways:
Banyak orang yang takut akan perubahan. Saya tak salahkan itu, karena tak ada jaminan bahwa perubahan akan menjadikan sesuatu lebih baik. Tapi coba perhatikan ini: bagaimana kita bisa menjadi lebih baik tanpa adanya perubahan?
Ya, gue pengen ada perubahan. Kita semua ingin jadi lebih baik. Dan itu kembali ke diri kita lagi. Siapkah kita untuk melakukannya?
As we know, Indonesia emang level pendidikannya masih--yah, kalo ga mau dibilang rendah--menengah. Dan itu terkadang memunculkan pertanyaan di kepala gue: apa yang ngebuat Indonesia ga bisa maju?
Apa karena pemerintah enggak peduli? Mereka udah ngasih fasilitas kok.
Apa karena kita ga punya guru kompeten? Ada banyak malah, dari yang masih muda sampe yang jalannya sempoyongan dan ubanan.
Gue sering baca buku-buku tentang orang-orang sukses dari Indonesia. Mereka--mayoritas berada di luar negeri--sekarang udah menikmati hasil kesuksesan mereka. Mereka pun dulunya bersekolah di Indonesia. Lalu, kenapa mereka bisa sukses?
Maaf, pertanyaan di atas tadi salah. 'Kenapa' terlalu menjurus kepada latar belakang. Pertanyaan itu bisa dijawab dengan 'karena mereka pintar', 'karena mereka orang kaya', atau segelintir jawaban-jawaban pemakluman yang lainnya. Jadi, pertanyaan itu gue ubah menjadi: bagaimana mereka bisa sukses?
Jawabannya, karena mereka mempunyai keinginan kuat untuk sukses. Dan mereka sadar, bahwa kesuksesan (kecuali bagi mereka yang emang punya tingkat keberuntungan sangat tinggi) didasari oleh pendidikan yang mapan. Karena itu, mereka punya keinginan yang juga kuat untuk menuntut ilmu.
Tapi dari buku yang gue baca, orang-orang sukses tersebut hanya berada di angka tiga ratus sampai empat ratus orang. Sedangkan kita tau, penduduk Indonesia ada dua ratus juta lebih. Lantas, apa yang salah dengan yang lain?
Dari semua buku-buku itu, gue bisa menyimpulkan satu hal: bahwa yang salah, tak lain adalah mindset. Ya. Inget nggak waktu Anda bersekolah, baik yang udah lulus maupun masih, pernah terpikir hal-hal berikut ini:
- Setelah weekend, hari Senin adalah momok yang menakutkan.
- Menuntut liburan lebih, bahkan kadang meminta sekolah ditiadakan.
- Benci pelajaran, benci guru, benci matematika, fisika, kimia, dan lain-lain.
Ya. Paradigma bahwa sekolah adalah sesuatu yang 'menakutkan' dan merupakan 'kewajiban yang dipaksakan' melekat begitu erat di kepala anak-anak Indonesia. Hal ini telah terjadi bertahun-tahun, sehingga anggapan itu udah tertanam dalam.
Di twitter adalah contoh paling jelas. Ya, timeline gue setiap harinya selalu ada keluhan dari anak-anak sekolah tentang betapa mereka berharap sekolah bukan merupakan keharusan. I'm not blaming them, though. Seperti yang gue bilang tadi, kita negara demokratis yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Tapi jujur, pas gue ngebaca tulisan-tulisan itu, gue ngerasa agak... yah... kasian.
Ga bisa nutup mata juga, gue dulu kayak gitu. Dan perubahan terjadi pas gue naik kelas dua SMP. Gue saat itu sadar, bahwa demi menggapai mimpi-mimpi gue, cuma bisa dengan jalan belajar. Gue nggak mau nggantungin hidup gue hanya dengan setitik keberuntungan yang mungkin bisa ngebuat gue jadi orang paling sukses di dunia sekalipun. Semua itu butuh perjuangan.
Gue ngerasa, tahun dimana Indonesia bisa maju adalah tahun ketika pelajar-pelajar Indonesia telah mempunyai keinginan untuk belajar yang kuat.
Gimana untuk punya keinginan itu? Sederhana, mulai aja dari nentuin tujuan hidup. Buat aja cita-cita yang tinggi namun rasional. Dan ketika cita-cita itu udah pasti, berjanjilah ke diri sendiri: Gue akan jadi seperti apa yang gue mau, dan gue akan melakukan apapun untuk itu.
Karena dari janji itu, kita bisa sadar, bahwa cita-cita ga mungkin dateng kayak buah mangga mateng yang jatoh dari pohon (again, kecuali untuk segelintir orang-orang beruntung itu), melainkan melalui sebuah perjuangan. Dan perjuangan itu mulai dari hal kecil: sekolah.
Kenapa sekolah? Karena semua bidang selalu ada proses pembelajaran. Mau jadi pengusaha, harus sekolah manajemen. Mau jadi penyanyi, masuk sekolah musik. Mau jadi penari, ikut kursus. Mau jadi pilot dan dokter aja juga perlu sekolah. Kecuali kalo cita-cita lo mau jadi tukang gali sumur atau tukang becak yang hanya mengandalkan fisik, maka sekolah adalah kebutuhan sekunder.
Really, prinsip dan tujuan hidup punya peran penting dalam kesuksesan. Untuk yang paling deket, kesuksesan di sekolah dulu aja.
Mungkin gue udah bicara terlalu banyak untuk seorang anak SMA berusia lima belas tahun. Atau mungkin ada juga yang bilang, 'Omongan lo kecepetan tiga puluh tahun, bung!'. Well, yeah. Gue pengen ada perubahan. Kayak omongan dari salah satu episode Mario Teguh Golden Ways:
Banyak orang yang takut akan perubahan. Saya tak salahkan itu, karena tak ada jaminan bahwa perubahan akan menjadikan sesuatu lebih baik. Tapi coba perhatikan ini: bagaimana kita bisa menjadi lebih baik tanpa adanya perubahan?
Ya, gue pengen ada perubahan. Kita semua ingin jadi lebih baik. Dan itu kembali ke diri kita lagi. Siapkah kita untuk melakukannya?
Thursday, January 14, 2010
The Ol' Fairy Tales
Hai. Malem-malem tiba-tiba pengen posting.
Ada yang masih inget sama fairy tale jaman dulu? You know... kayak Cinderella, Little Red Riding Hood, Beauty and the Beast, Little Mermaid, Snow White, The Little Match-Seller, Three Little Pigs, dan yang lainnya. You see, cerita-cerita itu mengisi masa kecil gue; memberi harapan, membiarkan imajinasi gue melayang saat ngebaca buku tentang cerita-cerita itu. Padahal dulu gue aja masih sering ngiler.
Tapi bisa terlihat di jaman sekarang, cerita-cerita tadi hampir ga pernah diceritakan lagi. Apalagi ke anak-anak kecil. Yah, mungkin di antara mereka ada yang tau Cinderella, atau setidaknya pernah denger. Tapi kalo disuruh nyeritain lagi, kira-kira bisa enggak?
Coba deh, luangin waktu sebentar untuk baca-baca atau nonton lagi buku-buku dan film tentang cerita-cerita di atas. Disadari ataupun enggak, fairy tale yang notabene punya happy ending--walaupun di cerita gadis penjual korek api endingnya happy buat dia, tapi sedih buat yang baca--sebenernya sangat bagus buat anak-anak.
I'm not a child expert or anything, tapi seenggaknya gue tau bahwa cerita-cerita itu lebih bermanfaat daripada shitnetron atau drama reality di TV yang tayang setiap hari. Really... apa adu mulut, tonjok-tonjokan, nangis-nangisan, suap-suapan (?) pantes diliat ama anak kecil? Op kors not.
Untungnya Disney udah memfilmkan banyak di antara fairy tale itu sehingga lebih gampang dan asik diliat. Tapi mengingat itu film kartun lama... masih ada ga sih yang jual?
Si pacar pernah bilang, dia kalo udah jadi ibu nantinya, dia bakal nyeritain cerita-cerita itu sebagai bedtime stories, dongeng pengantar tidur, ke anak-anaknya.
Wow, itu pemikiran yang bagus. Boleh daftar jadi anak ga?
*
Anyway, gue baru ngegugel dan nemu link yang isinya dongeng-dongeng, dan di dalemnya tercakup fairy tales. Liat aja link di bawah ini.
http://www.dongengkakrico.com/index.php?option=com_content&view=category&id=61&Itemid=95
Sayangnya fairy tale-nya dalam bahasa Inggris, jadi kalo buat yang ga biasa... yah, coba aja pake TransTool. Walaupun hasil terjemahannya nanti bakal kayak orang Afrika pedalaman yang nyoba ngomong bahasa Inggris.
Have a great time, humans. Goodnight.
Ada yang masih inget sama fairy tale jaman dulu? You know... kayak Cinderella, Little Red Riding Hood, Beauty and the Beast, Little Mermaid, Snow White, The Little Match-Seller, Three Little Pigs, dan yang lainnya. You see, cerita-cerita itu mengisi masa kecil gue; memberi harapan, membiarkan imajinasi gue melayang saat ngebaca buku tentang cerita-cerita itu. Padahal dulu gue aja masih sering ngiler.
Tapi bisa terlihat di jaman sekarang, cerita-cerita tadi hampir ga pernah diceritakan lagi. Apalagi ke anak-anak kecil. Yah, mungkin di antara mereka ada yang tau Cinderella, atau setidaknya pernah denger. Tapi kalo disuruh nyeritain lagi, kira-kira bisa enggak?
Coba deh, luangin waktu sebentar untuk baca-baca atau nonton lagi buku-buku dan film tentang cerita-cerita di atas. Disadari ataupun enggak, fairy tale yang notabene punya happy ending--walaupun di cerita gadis penjual korek api endingnya happy buat dia, tapi sedih buat yang baca--sebenernya sangat bagus buat anak-anak.
I'm not a child expert or anything, tapi seenggaknya gue tau bahwa cerita-cerita itu lebih bermanfaat daripada shitnetron atau drama reality di TV yang tayang setiap hari. Really... apa adu mulut, tonjok-tonjokan, nangis-nangisan, suap-suapan (?) pantes diliat ama anak kecil? Op kors not.
Untungnya Disney udah memfilmkan banyak di antara fairy tale itu sehingga lebih gampang dan asik diliat. Tapi mengingat itu film kartun lama... masih ada ga sih yang jual?
Si pacar pernah bilang, dia kalo udah jadi ibu nantinya, dia bakal nyeritain cerita-cerita itu sebagai bedtime stories, dongeng pengantar tidur, ke anak-anaknya.
Wow, itu pemikiran yang bagus. Boleh daftar jadi anak ga?
*
Anyway, gue baru ngegugel dan nemu link yang isinya dongeng-dongeng, dan di dalemnya tercakup fairy tales. Liat aja link di bawah ini.
http://www.dongengkakrico.com/index.php?option=com_content&view=category&id=61&Itemid=95
Sayangnya fairy tale-nya dalam bahasa Inggris, jadi kalo buat yang ga biasa... yah, coba aja pake TransTool. Walaupun hasil terjemahannya nanti bakal kayak orang Afrika pedalaman yang nyoba ngomong bahasa Inggris.
Have a great time, humans. Goodnight.
Sunday, January 10, 2010
First post of the year, lad
Mari menulis lagi... hmm.
Mula-mula gue ucapin selamat tahun baru 2010. Udah telat sih, soalnya sekarang aja udah tanggal sepuluh. Ah, tapi daripada enggak sama sekali, ya kan?
Ya know, bagi sebagian orang, tahun baru adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu. Klimaks. Saat dimana orang-orang beramai-ramai memanjatkan doa agar tahun yang baru datang ini membawa berkah dan kesenangan yang belom sempet tercapai di tahun sebelumnya. Enggak salah juga, yah, soalnya tahun baru udah jadi kayak simbol, tanda untuk (kalo kata orang) membuka lembaran baru.
Jujur di tahun baru kali ini, gue ga melakukan kegiatan yang spesial. Paling gue cuma ngebuat tujuan-tujuan yang harus gue capai di tahun ini. That's it. Ga ada pesta, barbeque, main petasan, atau kegiatan hura-hura lainnya. Kalaupun ada, satu-satunya kegiatan hura-hura yang terjadi di rumah gue adalah ketika adek gue teriak-teriak ngeliat kecoa.
Sepuluh hari di tahun yang baru ini udah berjalan tanpa insiden yang berarti. Kecuali kalo ribut-ribut di twitter gara-gara seorang anak cewek yang ngatain kalo pengguna blackberry itu alay masuk itungan. Man, people really are getting mad these days.
Anyway, sekarang gue udah mulai sekolah lagi. Tepatnya dari tanggal tiga kemaren. For a guy who thinks of nothing but future, masuk sekolah kembali ini sangat menyenangkan. Ah, ya. Gue seneng sekolah. Really, guys. Dapet ilmu, dapet nilai. What could be better?
Gue mulai terdengar kayak fanatik sekolah yang selalu sekolah 24/7 sambil les catur dua kali seminggu.
Ah udah ah, omongan gue udah ngelantur. See ya on the next post, guys.
Mula-mula gue ucapin selamat tahun baru 2010. Udah telat sih, soalnya sekarang aja udah tanggal sepuluh. Ah, tapi daripada enggak sama sekali, ya kan?
Ya know, bagi sebagian orang, tahun baru adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu. Klimaks. Saat dimana orang-orang beramai-ramai memanjatkan doa agar tahun yang baru datang ini membawa berkah dan kesenangan yang belom sempet tercapai di tahun sebelumnya. Enggak salah juga, yah, soalnya tahun baru udah jadi kayak simbol, tanda untuk (kalo kata orang) membuka lembaran baru.
Jujur di tahun baru kali ini, gue ga melakukan kegiatan yang spesial. Paling gue cuma ngebuat tujuan-tujuan yang harus gue capai di tahun ini. That's it. Ga ada pesta, barbeque, main petasan, atau kegiatan hura-hura lainnya. Kalaupun ada, satu-satunya kegiatan hura-hura yang terjadi di rumah gue adalah ketika adek gue teriak-teriak ngeliat kecoa.
Sepuluh hari di tahun yang baru ini udah berjalan tanpa insiden yang berarti. Kecuali kalo ribut-ribut di twitter gara-gara seorang anak cewek yang ngatain kalo pengguna blackberry itu alay masuk itungan. Man, people really are getting mad these days.
Anyway, sekarang gue udah mulai sekolah lagi. Tepatnya dari tanggal tiga kemaren. For a guy who thinks of nothing but future, masuk sekolah kembali ini sangat menyenangkan. Ah, ya. Gue seneng sekolah. Really, guys. Dapet ilmu, dapet nilai. What could be better?
Gue mulai terdengar kayak fanatik sekolah yang selalu sekolah 24/7 sambil les catur dua kali seminggu.
Ah udah ah, omongan gue udah ngelantur. See ya on the next post, guys.
Subscribe to:
Posts (Atom)